Di sebuah kampung yang terletak di lembah Bukit Babun, berdirilah sebuah Gereja Katolik bernama Paroki Naekake yang berpelindungkan Santo Bernardus. Paroki ini memiliki lima buah Kapela yakni Kapela Noelelo, Kapela Feku, Kapela Banu, Kapela Oelbinose, dan Kapela Oelfab serta memiliki satu Stasi dengan nama Stasi Aplal.
Untuk diketahui bahwa Kapela dan Stasi dalam Gereja Katolik memiliki arti seperti ini: Stasi merupakan istilah kewilayahan. Stasi berada di dalam Paroki. Pada Stasi, tidak selalu terdapat pastor di Kapela atau Gereja yang terdapat di Stasi tersebut. Ibadat atau misa di Stasi masih tergantung dari jadwal imam dan diakon di Paroki yang menaunginya. Sedangkan Kapela merupakan sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat untuk persekutuan dan ibadat bagi orang Kristen. Bangunan Kapela mungkin saja dibangun melekat pada lembaga lainnya seperti Gereja besar di Paroki, perguruan Tinggi, rumah sakit, penjara, dll atau mungkin juga bisa berdiri sama sekali terpisah dari bangunan lainnya, seperti yang terjadi di beberapa Kapela di Paroki Naekake ini.
Kita kembali ke Paroki Naekake yang berada di sebuah kampung yang dikenal dengan sebutan Kampung Naekake. Meski letaknya agak terpencil, kampung tersebut memiliki pesona yang mampu membius setiap orang yang mengunjungi dan memandangnya. Hijau pepohonan yang menghiasi setiap sudut kampung, dan udara yang segar menjadi daya tarik utama kampung ini. Lahan pertanian yang dikerjakan oleh masyarakat setempat membuat masyarakat harus perpindah-pindah setiap tahunnya, demi memenuhi kebutuhan ekonomi dalam keluarga.
Rumah-rumah di kampung ini, dengan adanya perkembangan, banyak rumah sudah memiliki tembok batu, dan beratap seng. Hanya satu dua orang saja yang masih mempertahankan keaslian rumahnya yang terbuat dari alang-alang, dan biasa disebut Uim Bubu (Uim artinya Rumah; Bubu artinya Bulat; Uim Bubu berarti rumah bulat) yang menambah keunikan dan keaslian suasana pedesaan. Saat pagi tiba, ayam jantan berkokok menyambut fajar, dan ibu-ibu mulai sibuk memasak dan menyiapkan sarapan bagi anak-anak untuk berangkat ke sekolah. Sementara para bapak pergi ke ladang.
Setiap hari, tampak anak-anak berlarian di jalan setapak, bermain petak umpet, gasing serta layang-layangan. Para remaja ada yang membantu orang tua di ladang, ada yang menyibukkan diri di rumah dengan berbagai macam pekerjaan bagi kaum wanita. Sedangkan untuk laki-laki menjelang sore sehabis pulang sekolah, membantu ayah memotong daun untuk sapi, atau kambing yang di pagar di belakang rumah atau di padang.
Sore hari menjadi waktu yang paling ditunggu-tunggu. Saat para petani bergegas pulang dari kebun, dengan melewati jalan raya di bawah terang cahaya lampu jalan, ada yang menjujung daun di kepala, ada yang dengan asyik berbicara dengan sesama di pinggiran jalan, saling bercerita tentang berbagai hal sambil memakan siri pinang sebagai tradisi orang Timor. Hidup di kampung Naekake mungkin terlihat sederhana. Namun, di balik kesederhanaan itu terdapat kekayaan nilai-nilai kehidupan, kebersamaan, dan kebahagiaan yang sulit ditemukan di tempat lain.
Pada suatu ketika, tepatnya hari Minggu. Sehabis keluar misa, sebagai kebiasaan umat Paroki Naekake, yang terkadang menciptakan suasana bising di depan Gereja, akibat pasar kecil yang dilakukan sehabis misa. Dari kejauhan tampak beberapa orang anak beserta beberapa orang muda dengan bernyanyi sambil tepuk tangan. Dengan penasaran aku pun menghampiri mereka. Dengan langkah yang pasti aku berhenti di balik sudut tembok berwarna putih itu. Aku mengamati anak-anak yang dengan seriusnya memperhatikan apa yang diperagakan oleh seorang wanita yang berumur kira-kira 23 tahun, memakai terusan abu-abu dan sepatu balet hitam dan jam tangan warna coklat melengkapi penampilannya di siang itu. Namanya ibu Trivonia Roswita Lake.
Ada juga seorang lelaki berbadan gendut, berkaca mata, memakai sebuah tas kecil di samping dan memakai baju loreng dan dilengkapi dengan sepatu berwarna hitam, namanya Wilianto Yoni pria asal Jawa. Di sisi lain juga, aku melihat seorang perempuan yang seumuran dengan temannya ibu, namanya Ibu Meliana Konanin. Dia adalah seorang wanita pendiam, dengan warna kulit kecoklatan, dengan kain tais dan sepatu balet marah maron melengkapi penampilannya di siang itu. Tampak juga seorang lelaki berbadan kurus, berjenggot tebal, memakai kameja kuning campur hitam, yang asyik mengatur anak-anak. Namanya Simson Kehi. Mereka inilah perintis utama Sekolah Minggu St. Bernardus Naekake, tepatnya pada bulan yang pertama. Anak-anak dengan girangnya mengikuti setiap arahan yang diberikan oleh para pembina ini.
Sekolah Minggu St. Bernardus Naekake berdiri atas inisiatif dari seorang tentara/abdi negara yang tengah bertugas di perbatasan, beragama Katolik. Setelah beberapa minggu bertugas dan rutin dalam mengikuti misa, ia melihat anak-anak yang dengan semangat untuk menyapanya, bukan saja di gereja, tetapi juga di jalan-jalan. Pria berbaju loreng ini melihat bahwa anak-anak batas perlu dibina, agar kelak menjadi penerus bangsa ini. Dengan pengamatannya inilah, dan atas kedekatannya dengan Pastor Paroki, Rm. Gabriel Bouk, Pr, maka ia menyampaikan maksudnya itu. Idenya diterima dengan senang hati.
Akhirnya, hari Minggu disebut sebagai harinya anak-anak SEKAMI (Serikat Kerasulan Anak Misioner), yang dibantu oleh ketiga pemuda yang selalu setia menemani dan menerima ide-idenya. Dengan persetujuan dari pastor paroki inilah maka 25 Oktober 2021 menjadi hari pertama SEKAMI dibuka. Sontak kegirangan yang tengah dialami oleh anak-anak setelah beberapa tahun berdirinya Paroki ini belum pernah ada kegiatan ini.
Singkat cerita pada bulan pertama, aku diajak oleh salah seorang pembina untuk bergabung. Akhirnya aku pun menggabungkan diri pada bulan kedua yaitu bulan November waktu itu. Banyak kisah, cerita berlalu, anak-anak setiap minggu makin bertambah. Hal yang sering dilakukan oleh pria berkaca mata ini adalah berbicara dengan suara yang lembut.
Hal yang tidak pernah kami lupakan adalah pengertian dan perhatian, layaknya seorang bapak yang selalu mengerti dengan perasaan dan kebutuhan dari anak-anaknya. "Bila suatu saat nanti ketika tugasku sudah selesai dan aku harus meninggalkan tempat serta tanggung jawab ini, saya harap kalian semua yang telah bersedia untuk melayani dan memberi apa yang seharusnya diberikan kepada anak-anak, lakukan. Yang terpenting jangan menyerah, bila ada kesulitan jangan segan-segan bertanya pada orang yang dianggap cukup mempunyai pengalaman soal ini. Percayalah bahwa yang kita lakukan saat ini adalah rencana dan kehendak Tuhan sendiri". Begitulah ungkapan serta pesan dari pria berkaca mata pada suatu kelak, yang sudah tahu bahwa masa tugasnya sebentar lagi berakhir.
Pria berkaca mata ini juga yang telah memberi banyak perubahan di kala ia diangkat menjadi Ketua Pembina Sekolah Minggu. Perhatiannya kepada rekan-rekan kerja termasuk aku sendiri yang telah mengabdikan diri sebulan sesudah sekolah minggu dibuka. Hal pertama yang saya dapatkan dari pria berkaca mata ini adalah cara mengajar dan mendekati anak-anak yang rewel dan nakal dengan mudah.
Sekolah Minggu ini pertama dibuka dengan berbagai macam kesulitan yang selalu dihadapi oleh para pembina, mulai dari dana, sarana dan prasarana lainnya yang menjadi kebutuhan bagi anak-anak desa yang selalu bersedia untuk diajar dan dididik. Pada awal mula berdirinya sekolah ini banyak hal yang kami lakukan di luar sepengetahuan Pastor Paroki. Kami masih banyak membutuhkan bantuan dan juga ide-ide dari orang-orang yang sudah berpengalaman.
Namun, tidak menjadi soal bagi kami para pembina yang sudah siap menghadapi apa yang akan terjadi. Awalnya perhatian dan kepedulian yang diberikan oleh para pengurus/Dewan Pastoral Paroki tidak terlalu baik. Dengan berbagai macam cara kami bekerja sama untuk masa depan anak-anak, tanpa peduli apa kata orang. Segala niat baik dari pria berbaju loreng berikan kepada kami, entah itu pelajaran atau nasihat untuk kami dan juga untuk anak-anak.
Pada Natal tahun 2021 di tahun pertama kami ikuti dan lalui dengan baik. Sebuah hadiah sederhana yang kami berikan adalah sepotong kue dan juga doa yang dipanjatkan bersama sebagai rasa syukur. Keadaan ini pun diterima baik oleh mereka yang selalu mau belajar dari kami.
Ada hal-hal baru yang ditanamkan kepada anak-anak desa penerus bangsa 50 tahun mendatang. Awal sebuah pelayanan dengan bermodalkan Rp 500 yang didapatkan saat Sekolah Minggu berlangsung, atas pemberian dari seorang anak perempuan mungil dan cantik. Lucunya Rp 1.500 digunakan untuk jajan dan sisanya dipersembahkan. Uang sisa inilah yang kami berjuang kembangkan. Tidak soal bila semuanya itu harus terjadi, sebab Sekolah Minggu ini berdiri kokoh di atas sumbangan dan harapan yang berawal dari sumbangan Rp 500 ini. Masyarakat sekitar melihat perjuangan dari para pembina yang selalu berkorban dengan cara mereka sendiri, tanpa upah serta bayaran apapun. Semua yang diberikan adalah sukarela dan gratis agar anak-anak yang dapat belajar.
Kini saatnya sang pendiri sekaligus insiator Sekolah Minggu, harus meninggalkan apa yang sudah ia tanamkan karena masa tugasnya sudah sebagai abdi negara selesai. Anak-anak menangis meratapi kepergiaannya demi tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan. Air mata menetes membasahi tanah di wilayah ini sebagai siraman bagi benih yang sudah ditaburi, agar benih-benih itu kemudian mengasilkan buah yang baik dan bermanfaat bagi orang lain.
Saat itu, hal yang kami lakukan sebagai rasa terima kasih, anak-anak membawakan puisi dan lagu dengan judul "perpisahan". Melihat kesungguhan dari anak-anak ini dalam membawakan acaranya, akhirnya Danpos TNI pun meneteskan air matanya, dan melontarkan pujian atas karya dari anak-anak.
Hingga kini, Sekolah Minggu ini mulai mendapat perhatian dari berbagai pihak, baik masyarakat maupun Gereja. Hingga memasuki tahun ke-3 ini, SEKAMI St. Bernardus terus berkembang dengan adanya pembenahan yang dilakukan oleh para pembina yang hingga saat ini masih mau berusaha mendampingi anak-anak. Di bawah pelindung St. Bernardus kami serahkan anak-anak, agar kelak menjadi penerus yang cerdas dan berintelek. Mari bahu-membahu menuju Naekake yang lebih baik. Naekake bisa.
By: Desiderima Marsella Ceunfin