Kursi itu sering jadi rebutan Andy, Fandy, Kandy, Randy dan Sindy setiap hari. Kursi itu, kursi malas ayahnya. Jika diduduki, goyang-goyang sendiri dan kadang membuat ayah gampang tertidur. Bahkan kursi itu kadang membuat ayah terlena dan membuat ayah lupa segala persoalan hidup dalam rumah.
Tempat itu juga menjadi tempat inspirasi bagi ayah untuk menulis sederetan kata indah dalam diary hidupnya. Segala rencana yang ingin ayah buat atau kerjakan selalu terinspirasi dari kursi itu.
Kursi itu letaknya di lantai dua dari rumah, menghadap ke laut. Di sisi-sisi rumah terbentang gunung-gemunung dengan pemandangan yang indah dan menarik.
Sepeninggalan ayah, meninggalkan satu kenangan yang indah bagi keempat puteranya dan putri tunggalnya Sindy. Sindy bagaikan srikandi yang disayang ayah dan ibunya. Bahkan dimanja oleh keempat kakaknya yang semuanya laki-laki. Maklum Sindy anak bungsu. Jadi lengkap benar curahan kasih sayang yang ia dapat dalam keluarga.
Sebelum meninggal, ayahnya berpesan kepada anak-anak tentang kerasnya dunia ini yang diliputi dengan persaingan-persaingan. "Anak anakku, nasihat ayah itu seperti mahkota di kepalamu, dan ucapan ibumu seperti kalung di lehermu. Harus selalu tahu bersyukur, rendah hati dan mampu untuk memaafkan. Di antara kamu adik-kakak harus baku sayang dan saling tolong menolong. Jangan pernah cecok atau bertengkar di antara kamu adik-kakak. Dengan orang lain pun harus baku sayang, saling menghargai dan saling menghormati!"
Ayah berhenti sejenak menghela nafasnya karena batuk bertubi-tubi. Sindy mendekati ayahnya dengan segelas air hangat, "Ayah minum dulu. Omongnya pelan-pelan!" Ayah mengangguk sambil minum air yang disodorkan Sindy ke mulutnya.
Ayah kembali menyapa ke empat putranya dengan lembut dengan mata tertuju pada Andy, "Ndy, kamu putra tertua di dalam rumah ini. Semua sudah ayah siapkan untuk kamu semua. Sebagai seorang kakak harus jadi sampah buat adik adik. Jadi penampung yang baik dalam hadapi berbagai masalah di antara kamu semua. Rangkul adik-adikmu dengan penuh kasih sayang seperti ayah dan ibu tidak membeda-bedakan di antara kamu!"
Andy mengangguk sambil memeluk ayahnya. Namun sepeninggalan ayah, kursi itu jadi rebutan untuk diduduki. Andy lebih banyak mengalah. Kursi itu menjadi rebutan lantaran semua berpikir bahwa dari kursi itu, mereka akan seperti ayah. Pemimpin dan kepala keluarga yang asyik mengatur kehidupan keluarga.
Kursi itu kadang membuat pusing kelima bersaudara ini. Berada di lantai dua, banyak tangganya. Salah injak, pastinya tergelincir dan jatuh. Namun semua tidak takut dan jatuh. Yang penting bisa duduk santai dan menikmati panorama alam yang indah dan sejuk.
Kursi itu kadang menjadi tempat omel bagi yang tidak menggapainya. Bahkan menjadi sarana pertengkaran. Ayunan kursi itu yang selalu membuat Andy, Fandy, Kandy, Randy dan Sindy terhipnotis untuk menikmatinya seperti ayah mereka.
Suatu ketika dalam satu kebersamaan, Andy bilang sama adik adiknya, "Jangan hanya karena kursi, kita ngomel dan bertengkar yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Siapa yang duduk duluan ya biarkanlah itu. Kan tidak mungkin sepanjang waktu akan habiskan waktu untuk di kursi itu. SETIAP ORANG ADA MASA DAN WAKTUNYA". (Wimer)