KEHILANGAN
Oleh:
Stefania Delyma Bais
Pernahkah kalian merasakan sesuatu yang sama sepertiku? Aku
pernah merasakan kehilangan yang begitu besar. Seseorang yang selalu hadir di
saat suka dan duka, tempat aku menangis dan mengeluh tiba-tiba menghilang
begitu saja. Seolah-olah dunia tak adil bagiku. Sekuat apapun aku menangis dan
berteriak, semua itu percuma saja karena kuasa Tuhan lebih besar.
Aku dan keluargaku tinggal di daerah
yang jauh dari perkotaan, namun terasa damai. Kehangatan keluarga yang terjalin
begitu erat, membuat aku merasa tegar
dan kuat hingga sekarang. Namun, aku pernah merasakan luka yang begitu dalam.
Hati terasa sangat sakit, bahkan terasa rapuh. Bagaimana tidak? Orang yang sangat aku cintai dan kusayangi,
pergi menghilang, dan lenyap begitu saja. Seseorang yang kuanggap seperti
bidadari, tempat aku berbagi cerita, baik suka maupun duka. Aku merasa sangat
bahagia, ketika berada di dekatnya. Namun, kebahagiaan itu sekejab menghilang
dan pergi jauh dariku. Sampai sekarangpun, aku masih belum bisa menerima
kenyataan ini. “INA” itu adalah sapaan
hangat yang kami berikan padanya.
Ina adalah wanita paruhbaya yang
sangat tegar. Kasih sayangnya begitu besar, sampai aku sendiripun tidak bisa
mendeskripsikannya. Dia adalah sesosok bidadari yang selalu mengerti akan keluh
kesahku. Ia juga sering kujadikan sebagai teman curhatku. Siapa saja yang dekat
dengannya pasti akan bahagia. Ia pandai menceritakan dongeng, pandai bercanda,
walaupun kadang candaannya tidak masuk akal.
Pagi itu, suara alarm dari HPku
membangunkanku. Sinar suria mulai memancarkan kemegahannya, tanda bahwa pagi
hari telah tiba. Aku meraih selimutku dan bangun dari tempat tidurku lalu
kubuka jendela. Ketika pintu jendela terbuka sinar suria mulai menyilaukan
mataku. Kuraih handuk, kemudian mandi dan bersiap ke sekolah. Di sekolah aku
tidak sempat berpikir macam-macam mengenai Inaku. Aku tetap menyapa
teman-temanku dengan ceria seperti biasanya.
Ya,
karena memang kemarin Ina hanya sakit perut. Sepulang sekolah, aku diantar oleh
seorang teman kelasku. Setibanya di rumah, aku melihat semua orang menangis. ”Ini
tidak seperti biasanya,” kataku dalam hati. Aku terkejut dan bertanya kepada
semuanya apa yang terjadi? Namun, tidak seorang pun yang menjawabku dengan
perkataan, tetapi mereka hanya menjawabku dengan tangisan. Aku semakin bingung
dan tidak mengerti.
Ketika aku tengah dilema oleh
kebingungan, tiba-tiba ponselku berdering. Ternyata ada pesan yang masuk ke
ponselku melalui Whatsapp tepatnya pada grup keluarga besar. Kuaraih ponselku,
kemudian kubuka pesan tersebut. Ketika aku membuka pesan tersebut, barulah aku
mengerti apa penyebab menangisnya semua orang. Pada pesan tersebut
dikirimkannya foto, yang tertulis “Ina di ruangan jenazah.” Sungguh, ketika
itu, aku tidak dapat membendung air mata lagi, isak tangisan tidak dapat
kutahan. Ketika itu juga muncul pertanyaan dari dalam hatiku, “kenapa Tuhan?
Kenapa ini semua terjadi begitu cepat?”. Aku merasa sangat bersalah, karena aku
tidak ada di sampingnya, saat ia menghembuskan nafas terakhirnya. Rasa sedih,
kecewa, sakit dan rapuh, sungguh tidak luput dari dalam hati ini.
Kenyataan
memang pedih. Aku sering menghayal agar bisa melihat senyumannya, walaupun itu
hanya dalam khayalan. Aku sering berpikir, “jika memang menghayal itu indah,
lebih baik aku berada dalam dunia khayalan, dari pada menerima kenyataan, yang
hanya akan memberi luka”. Memang benar kata pepatah, “sesuatu yang berharga
akan terlihat lebih berharga, ketika sudah hilang dan tidak kembali lagi”.
Aku
dan Ina dipisahkan oleh dua alam yang sangat jauh berbeda. Jika memang bisa
untuk dikejar, aku akan mengejar dan menariknya kembali. Ah, lagi-lagi aku menghayal.
Kadang aku berpikir, bukankah Ina pernah mengatakan bahwa dia menyayangiku?
Bukan saja aku tetapi kami semua anak cucunya. Namun mengapa? Mengapa ia pergi
tanpa menghiraukan kami? Apakah ini kasih sayang itu? Entahlah, akupun tidak
mengerti. Berita mengenai kepergiannya merupakan sesuatu yang sangat
mengejutkan, luka itu bahkan masih membekas di dalam hati ini.
Aku ingin ia selalu hadir dalam
mimpiku. Ingin kuutarakan rasa rindu ini kepadanya. Aku ingin memeluk dan
mengecupnya sekali lagi. Padahal sebelum Ina meninggal, dua hari yang lalu, aku
baru saja mengobrol dan bercanda dengannya. Ternyata itu adalah kesempatan
terakhirku untuk mengobrol dengannya. Rasa rindu ini sangat besar. Aku rindu
belaiannya, senyumannya, tawanya, nasehatnya, terlebih kasih sayangnya.
Perlahan, aku memang harus belajar untuk menerima kenyataan ini.