KICAUAN DI KAMAR ASRAMA
(Rini Messah)
Mentari pagi menyinari wajah Rani, membangunkannya dari mimpi. Hari ini adalah hari pertamanya di asrama. Rasa gugup dan rindu rumah bercampur aduk dalam hatinya. Kamar asramanya sempit, hanya berisi ranjang susun, meja belajar, dan lemari kecil. Suara-suara asing dari kamar sebelah terdengar samar-samar, membuat Rani semakin merasa asing dan kesepian. Dia merindukan kamarnya yang luas di rumah, dihiasi poster-poster idolanya, dan aroma masakan ibunya yang selalu membuatnya merasa nyaman.
"Hai, namaku Rani," sapa seorang gadis ramah dengan senyum manis, menawarkan tangannya. "Namaku Roy, senang bertemu denganmu." Roy adalah penghuni kamar sebelah. Rani merasa sedikit lega, setidaknya ada satu orang yang ramah di asrama ini.
Hari demi hari berlalu, Rani dan Roy semakin akrab. Mereka sering bertemu di ruang belajar, saling membantu mengerjakan tugas, dan berbagi cerita tentang kehidupan mereka. Roy adalah remaja yang ceria, suaranya merdu, dan selalu bisa membuat Rani tertawa. Rani merasa nyaman berada di dekat Roy, seolah-olah Roy adalah cahaya yang menerangi kegelapan asrama.
Suatu sore, Rani mendengar suara merdu dari kamar Roy. Roy sedang bernyanyi dengan riang, sambil memainkan gitar akustiknya. Lirik lagunya tentang kerinduan dan rasa kehilangan, menyinggung hati Rani. Rani merasa ada kesamaan perasaan di antara mereka. Rani pun mulai menyadari bahwa dia memiliki perasaan lebih dari sekadar teman kepada Roy. Dia merasa gugup dan bahagia setiap kali bertemu Roy, dan dia sering memikirkan Roy saat sendirian di kamar.
Rani ingin mengungkapkan perasaannya, tapi dia takut ditolak. Dia takut Roy menganggapnya aneh, atau lebih buruk lagi, menjauhinya. Rany pun memutuskan untuk menulis surat untuk Roy. Dia mencurahkan semua perasaannya di atas kertas, dengan penuh kejujuran dan kerentanan. Dia menulis tentang rasa kagumnya terhadap Roy, tentang rasa bahagianya saat bersama Roy, dan tentang rasa takutnya untuk mengungkapkan perasaannya.
Malam itu, Rany menaruh suratnya di bawah pintu kamar Roy. Dia berharap Roy bisa membaca suratnya dan memahami perasaannya. Rani pun menunggu dengan deg-degan jawaban dari Roy. Dia merasa gelisah dan tidak bisa berkonsentrasi belajar.
Keesokan harinya, Roy datang menemuinya dengan senyum hangat. "Rinni, aku membaca suratmu," kata Roy. "Aku terharu membacanya. Aku juga memiliki perasaan yang sama kepadamu." Rani sangat bahagia mendengar pengakuan Roy. Mereka berdua akhirnya saling mengungkapkan perasaan dan mulai berpacaran.
Kicauan di kamar asrama mereka kini dipenuhi dengan suara-suara bahagia dan penuh cinta. Rani tidak lagi merasa asing dan kesepian. Roy telah menjadi cahaya yang menerangi hidupnya. Mereka berdua saling mendukung dan mencintai satu sama lain. Mereka menjalani hidup di asrama dengan bahagia, sambil menunggu masa depan yang cerah menanti mereka.