• Hari ini: December 22, 2024

LELAKI ITU AYAHKU

22 December, 2024
227

Fajar masih mendengkur di bawah langit. Bumi menggigil dalam Desember basah. Pagi itu aku menjumpai lelaki asing yang mengukir jejak aneh pada pundak setapak menuju kebun kakao almarhum ayah. Kutanyakan keberadaan jejak itu pada anak-anak embun yang menetekki payudara dunia. Sahutnya: “Aku tak mengenal tapakku. Adaku adalah ada untuk tiada, demi ada yang lain. Aku tercipta dalam sunyi dan lahir dalam pekat. Tak satu manusia pun menangkap langkahku. Memang jejakku adalah ketiadaan. Aku ada dan lenyap dalam kodrat solidaritasku.” Embun-embun itu melumuri diriku dengan ramuan filosofis. Kebingunganku semakin menggunung. Menghalang hasratku untuk melangkah, menawanku pada pencarian mengawang. Kurangkai pagi misterius, lelaki misterius dan jejak bisu itu pada lembaran bening 2 Juni 1989.

Pencarian jejak itu tetap awet dalam mimpiku meski telah kulewati petualangan ziarah akademisku. Kini usiaku 25 tahun. Usia matang seorang wanita untuk memiliki pasangan hidup walau tak kubayangkan. Berulang kali, aku melewati jalan itu di saat pagi mengumbar. Pernah kulakukan tepat pada desember, saat aku mengambil cuti satu semester pasca operasi tumor mamaku. Hanya lelaki misterius itu tidak mampir lagi, jejaknya pun tiada lagi. Menghilang.

Karena rasa ingin tahu yang terus memenjaraiku, pagi itu kuputuskan menapaki hamparan gurun yang menyimpan tapak-tapak para petualang. Barangkali lelaki misterius itu melewati gurun ini, mengamankan identitas dan jejaknya dari persembunyian. Aku mengais jejaknya di balik gundukkan debu kerontang namun tak kutemui. Aku terperangkap dalam sekat bisu sarat tanya. Mungkinkah ia tidak sempat bertandang di kemah gundul gurun itu? Ataukah bagi gurun, ia adalah makhluk misterius? Aku mencoba meyakinkan diri,“Rupanya ia lebih tua dari gurun dan siang bukanlah dunianya.” Lalu aku mendatangi peronda-peronda malam, membentang kisah itu pada mereka di bawah tatapan rembulan, namun mereka menuduhku pendusta yang ingin mencari kepercayaan publik. Bahkan ada yang lancang mencurigaiku sebagai wanita kunang-kunang. Tuduhan itu seakan mengawini skenario politik bangsa yang tak memainkan kaum Hawa di atas panggung pentas. “Rupanya dunia ini berkelamin pria”. Suaraku tidak didengar, pengaduanku tak dipungkiri. Aku mendesah dan nyaris berpekik pada malam dan dunia yang tuli terhadap aku dan kaumku. Dunia yang buta terhadap lakuku dan kaumku, bahkan mati terhadap adaku. “Debukah diriku yang hanyut dalam gemericik sungai pesta pora dunia yang basah kuyup nafsu ketamakan?” Tanggapan para peronda malam melumpuhkan hasrat, menyudutkan aku dan mengerdilkan keberanianku di hadapan laku inkulturatif dalam budaya paternalistis. Hanya wajah dan jejak lelaki misterius itu justru merangkul erat tarian malam dan bahasa sunyiku dalam tidur malam itu.

                 Desember itu datang dan pergi berulang kali. Sosok lelaki misterius dengan jejak sekejapnya tetap menghantui keheninganku dari musim ke musim, dari tahun ke tahun bahkan melumuri seluruh perjalananku dengan tanda tanya, membopong perjuangan sepanjang usiaku dalam pencarian tak bertepi.

 “Hidup adalah sebuah misteri. Kehidupan dan kematian milik Tuhan. Ayahmu dan kamatiannya adalah misteri terbesar dalam hidup mama dan kau. Kau akan sadari itu bila telah mengerti arti kehidupan sesungguhnya.” Jawaban mama ketika aku menanyai alasan kematian tragis bapak ini kembali bersolek di kepalaku dan nyaris mempersunting identitas lelaki misterius itu. Pesan-pesan romantis penuh perhatian dari Rizki, lelaki yang kupacari dua tahun terakhir ini jarang kubalas bahkan sering kuabaikan. Kemarin sempat terlintas keputusan konyol untuk menonaktifkan handphone serta memblokir akun facebookku. Sungguh dunia riil bermahkota sahabat-sahabat dan lelaki yang selalu kusanjung di depan teman-teman kuliah dan mama seakan tak berarti bagiku. Aku mulai introfert dengan duniaku.

Hari itu ulang tahun kematian bapak ke-17. Tidak seperti biasanya, aku bersama mama melawat pusara bapak. Kuputuskan untuk menyendiri di kubur bapak hingga hari itu berlalu. Keputusan penuh harapan besar. Di balik nisan bapak, akan kukuak tirai misteri dan akan kutemukan bapak di dunia misterius. Berjalan tanpa jejak, terbayang tanpa membayang, berkata dalam desir bayu dan berkisah dalam dengung lirih pepohonan hutan dan malam adalah dunianya.

            Kupagari kuburan yang retak berlumut itu dengan tujuh batang lilin bernyala seturut ritual agama juga kultur. Huruf-huruf masih awet terpahat pada nisan. Menoreh sebuah nama yang haram diucap bibir, namun begitu dekat dengan hatiku. Kala itu senja menggelantung di ranting cakrawala. Malam datang disongsong kidung binatang malam. Jangkrik-jangkrik memainkan suara dari balik tumpukan dedaunan kering membukit di samping kuburan bapak. Diam, sunyi dan hening perlahan mengusung datangnya pekat dan misteri segera terlahir. Lelaki misterius itu datang lagi dengan jejaknya yang tak membumi. Aku yang misteri, hidupku, duniaku ataukah lelaki itu yang misterius karena datang dari dunia misteri? Aku meninggalkan kuburan bapak dengan rintihan hati hambar dirundung tanya.

            “Pencarianmu tetap menjadi pencarianmu. Jawaban atas pertanyaanmu adalah pertanyaanmu karena dia yang kau cari ada dalam dirimu. Kau tidak perlu bertanya pada orang mati akan kehidupan dunia. Kau tidak bisa mencari jejak misterius di dunia nyata. Pergilah kepada perasaanmu. Di sanalah terbenam mentari cinta yang benderang dalam kelam pekat. Hanya rasa yang dapat bicara dengan diam. Kubur itu tempat terkubur misteri cinta. Hanya penghuni kubur yang dapat merasakan cinta misteri. Datanglah ke kubur ini karena perasaanmu akan cinta akan dipuaskan oleh jejak manusia malam. Pusara tua tidak menakutkan. Pusara selalu bermandi air mata, tumpahan leleh keringat suatu pencarian misteri dalam diri yang tak tahu. Janganlah kau terus mengejar horizon untuk mendapatkan cinta yang jauh. Tapi carilah fatamorgana dalam rasa tak bertepi. Kau akan mendapatkannya tanpa pergi ke langit tinggi. Rusuk-rusukmu telah dianyam jadi sangkar bagi cinta yang menetaskan bahagia dari hati yang bingung. Pasir gurun tak mampu menyimpan jejak manusia karena angin akan meniupnya terbang ke gurun lain. Cinta dunia pada manusia tak sama dengan cinta langit pada jazad kuburan. Semua istnana yang oleh dunia disebutnya kuburan telah mengalami kepenuhan cinta tanpa alasan ruang dan waktu. Aku menyadari, lelaki asing itu adalah dia yang mencintaiku dalam doa dan laku. Dialah Ayahku? Aku menyimpannya dalam tanya yang selalu menagih rindu dan doa selalu akan jawaban terbaik untuk rindu bagi yang tiada.

   

Oleh: Rony Manas