Fajar masih
mendengkur di bawah langit. Bumi menggigil dalam Desember basah.
Pagi itu aku menjumpai lelaki asing yang mengukir jejak aneh pada pundak
setapak menuju kebun kakao almarhum ayah. Kutanyakan keberadaan jejak itu pada
anak-anak embun yang menetekki payudara dunia. Sahutnya: “Aku tak mengenal
tapakku. Adaku adalah ada untuk tiada, demi ada yang lain. Aku tercipta dalam
sunyi dan lahir dalam pekat. Tak satu manusia pun menangkap langkahku. Memang
jejakku adalah ketiadaan. Aku ada dan lenyap dalam kodrat solidaritasku.”
Embun-embun itu melumuri diriku dengan ramuan filosofis. Kebingunganku semakin
menggunung. Menghalang hasratku untuk melangkah, menawanku pada pencarian
mengawang. Kurangkai pagi misterius, lelaki misterius dan jejak bisu itu pada
lembaran bening 2 Juni 1989.
Pencarian jejak
itu tetap awet dalam mimpiku meski telah kulewati petualangan ziarah
akademisku. Kini usiaku 25 tahun. Usia matang seorang wanita untuk memiliki
pasangan hidup walau tak kubayangkan. Berulang kali, aku melewati jalan itu di
saat pagi mengumbar. Pernah kulakukan tepat pada desember, saat aku mengambil
cuti satu semester pasca operasi tumor mamaku. Hanya lelaki misterius itu tidak
mampir lagi, jejaknya pun tiada lagi. Menghilang.
Karena rasa ingin
tahu yang terus memenjaraiku, pagi itu kuputuskan menapaki hamparan gurun yang
menyimpan tapak-tapak para petualang. Barangkali lelaki misterius itu melewati
gurun ini, mengamankan identitas dan jejaknya dari persembunyian. Aku mengais
jejaknya di balik gundukkan debu kerontang namun tak kutemui. Aku terperangkap
dalam sekat bisu sarat tanya. Mungkinkah ia tidak sempat bertandang di kemah
gundul gurun itu? Ataukah bagi gurun, ia adalah makhluk misterius? Aku mencoba
meyakinkan diri,“Rupanya ia lebih tua dari gurun dan siang bukanlah dunianya.”
Lalu aku mendatangi peronda-peronda malam, membentang kisah itu pada mereka di
bawah tatapan rembulan, namun mereka menuduhku pendusta yang ingin mencari
kepercayaan publik. Bahkan ada yang lancang mencurigaiku sebagai wanita
kunang-kunang. Tuduhan itu seakan mengawini skenario politik bangsa yang tak
memainkan kaum Hawa di atas panggung pentas. “Rupanya dunia ini berkelamin
pria”. Suaraku tidak didengar, pengaduanku tak dipungkiri. Aku mendesah dan
nyaris berpekik pada malam dan dunia yang tuli terhadap aku dan kaumku. Dunia
yang buta terhadap lakuku dan kaumku, bahkan mati terhadap adaku. “Debukah
diriku yang hanyut dalam gemericik sungai pesta pora dunia yang basah kuyup
nafsu ketamakan?” Tanggapan para peronda malam melumpuhkan hasrat, menyudutkan
aku dan mengerdilkan keberanianku di hadapan laku inkulturatif dalam budaya
paternalistis. Hanya wajah dan jejak lelaki misterius itu justru merangkul erat
tarian malam dan bahasa sunyiku dalam tidur malam itu.
Desember itu datang dan pergi berulang kali. Sosok lelaki misterius dengan jejak sekejapnya tetap menghantui keheninganku dari musim ke musim, dari tahun ke tahun bahkan melumuri seluruh perjalananku dengan tanda tanya, membopong perjuangan sepanjang usiaku dalam pencarian tak bertepi.
“Hidup adalah sebuah misteri. Kehidupan dan
kematian milik Tuhan. Ayahmu dan kamatiannya adalah misteri terbesar dalam
hidup mama dan kau. Kau akan sadari itu bila telah mengerti arti kehidupan
sesungguhnya.” Jawaban mama ketika aku menanyai alasan kematian tragis bapak
ini kembali bersolek di kepalaku dan nyaris mempersunting identitas lelaki
misterius itu. Pesan-pesan romantis penuh perhatian dari Rizki, lelaki yang
kupacari dua tahun terakhir ini jarang kubalas bahkan sering kuabaikan. Kemarin
sempat terlintas keputusan konyol untuk menonaktifkan handphone serta memblokir
akun facebookku. Sungguh dunia riil bermahkota sahabat-sahabat dan lelaki yang
selalu kusanjung di depan teman-teman kuliah dan mama seakan tak berarti
bagiku. Aku mulai introfert dengan duniaku.
Hari itu ulang
tahun kematian bapak ke-17. Tidak seperti biasanya, aku bersama mama melawat
pusara bapak. Kuputuskan untuk menyendiri di kubur bapak hingga hari itu
berlalu. Keputusan penuh harapan besar. Di balik nisan bapak, akan kukuak tirai
misteri dan akan kutemukan bapak di dunia misterius. Berjalan tanpa jejak,
terbayang tanpa membayang, berkata dalam desir bayu dan berkisah dalam dengung
lirih pepohonan hutan dan malam adalah dunianya.
Kupagari kuburan
yang retak berlumut itu dengan tujuh batang lilin bernyala seturut ritual agama
juga kultur. Huruf-huruf masih awet terpahat pada nisan. Menoreh sebuah nama
yang haram diucap bibir, namun begitu dekat dengan hatiku. Kala itu senja
menggelantung di ranting cakrawala. Malam datang disongsong kidung binatang
malam. Jangkrik-jangkrik memainkan suara dari balik tumpukan dedaunan kering
membukit di samping kuburan bapak. Diam, sunyi dan hening perlahan mengusung
datangnya pekat dan misteri segera terlahir. Lelaki misterius itu datang lagi
dengan jejaknya yang tak membumi. Aku yang misteri, hidupku, duniaku ataukah
lelaki itu yang misterius karena datang dari dunia misteri?
Aku meninggalkan kuburan bapak dengan rintihan hati hambar dirundung tanya.
“Pencarianmu tetap menjadi pencarianmu. Jawaban atas pertanyaanmu adalah pertanyaanmu karena dia yang kau cari ada dalam dirimu. Kau tidak perlu bertanya pada orang mati akan kehidupan dunia. Kau tidak bisa mencari jejak misterius di dunia nyata. Pergilah kepada perasaanmu. Di sanalah terbenam mentari cinta yang benderang dalam kelam pekat. Hanya rasa yang dapat bicara dengan diam. Kubur itu tempat terkubur misteri cinta. Hanya penghuni kubur yang dapat merasakan cinta misteri. Datanglah ke kubur ini karena perasaanmu akan cinta akan dipuaskan oleh jejak manusia malam. Pusara tua tidak menakutkan. Pusara selalu bermandi air mata, tumpahan leleh keringat suatu pencarian misteri dalam diri yang tak tahu. Janganlah kau terus mengejar horizon untuk mendapatkan cinta yang jauh. Tapi carilah fatamorgana dalam rasa tak bertepi. Kau akan mendapatkannya tanpa pergi ke langit tinggi. Rusuk-rusukmu telah dianyam jadi sangkar bagi cinta yang menetaskan bahagia dari hati yang bingung. Pasir gurun tak mampu menyimpan jejak manusia karena angin akan meniupnya terbang ke gurun lain. Cinta dunia pada manusia tak sama dengan cinta langit pada jazad kuburan. Semua istnana yang oleh dunia disebutnya kuburan telah mengalami kepenuhan cinta tanpa alasan ruang dan waktu”. Aku menyadari, lelaki asing itu adalah dia yang mencintaiku dalam doa dan laku. Dialah Ayahku? Aku menyimpannya dalam tanya yang selalu menagih rindu dan doa selalu akan jawaban terbaik untuk rindu bagi yang tiada.
Oleh: Rony Manas