• Hari ini: December 22, 2024

KISAH PERJALANAN: "ALAM DAN SENJA DI ANTARA DETAK DAN LETAK"

22 December, 2024
173

KISAH PERJALANAN: "ALAM DAN SENJA DI ANTARA DETAK DAN LETAK"

    Pagi yang cerah. Sepanjang jalan yang menceritakan kicau burung dengan hiasan cemara yang menghijau di antara pandang jauh kerinduan, aku mendengarkan musik dalam isian flashdisk yang ditancapkan pada audio mobil avanza black metalic mini itu, berjudul “Penjaga Hati” dengan vokalis ternama Nadhif Basalamah yang semakin membangkitkan suasana menenangkan di balik hiruk pikuk keramaian yang memadati jalan raya kali ini.

    Aku menatap sekeliling dengan berbagai hamburan daun jatuh yang membuat jalan terasa berbicara pada angin kala siang hari yang mencari jati para muda yang bertajukkan luka. Aku meneguk mineral dalam ranselku, perjalanan baru akan dimulai, siang itu langit terlihat tampak lebih membiru dari biasanya, awan yang bercorak khas putih yang mencerminkan ketulusan sebuah hikayat dan indera. Aku menatap masa dengan yang pernah dirasakan oleh keinginanku mencapai tujuan.

    Sebenarnya aku hanyalah wanita yang hanya terlahir untuk kekuatan mengurangi kesedihan dan beban dalam hidupku, mendengarkan sebuah keluh dari dalam hatiku yang terdalam dengan bersamaan nasib yang menyelundup jiwaku ketika aku berdirikan semangat sebagai kekuatanku. Namaku adalah Ana Tinanti, selengkapnya Arella Karisa Ana Tinanti. Ana adalah nama panggilanku. Wanita yang terlahir dari budaya Jawa bercirikan identitas yang terkandung di dalam nama sebuah diri.

    Aku tidak begitu memperhatikan makna dari namaku sendiri. Aku meneguk mineral dalam botol, memandangi suasana sekeliling, di dalam mobil kami sekawanan petualang yang haus akan perjalanan telah sepakat memilih destinasi wisata menuju pantai dengan sejuta kenangan dan simbolik di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Masih berbicara tentang perjalanan, aku bukanlah penyair yang selalu siap dengan semua keadaan ketika menempati hal-hal yang baru, suasana yang baru dan iringan musik yang baru.

    Sepanjang perjalanan dan kecintaanku pada liburan membuat aku memiliki keinginan yang sangat besar untuk selalu menikmati momen indah ini. Khafid, adalah salah satu pemandu vlog di antara kami berempat, kebetulan saat itu aku, Khafid, Roni, Andre adalah salah satu peserta mahasiswa baru dalam satu fakultas, yaitu Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Sains Al-qur’an. Kami adalah mahasiswa baru satu tahun yang lalu. Berbeda dengan Khafid, Roni dan Andre, aku mengambil Program Studi Teknik Informatika kelas karyawan atau ekstensi sedangkan mereka bertiga mengambil Program Studi Teknik Sipil kelas reguler.

    Awalnya hanya aku yang diajak untuk mengikuti kegiatan berlibur seperti pada saat hari libur biasanya, namun kali ini aku memberanikan diri untuk jalan bersama dengan mereka bertiga, meski pada kenyataannya aku seperti sedang dikerjai oleh mereka. “Oke sobat, rencana mau ke mana ini jadinya?”, tanya Andre tiba-tiba mengagetkan tidurku. “Gunung Kidulnya batal, jadinya ke Pantai Menganti”, jawab Khafid meyakinkan.

    Aku merasa seolah bahwa perjalanan ini termasuk juga sebuah ide yang jitu, manakala aku dan pikiranku sedang tidak baik-baik saja saat itu. Aku mendapati berbagai kegagalan dalam hidup di mana selayaknya sebuah janji yang tak kusimpan dengan bait waktu. Aku merasakan sesak sejak saat membuka kehidupan baru di mana aku dan masa lalu terus selalu membayangi kekhawatiranku. Permulaan ini berawal dari sebuah kisah yang membelenggu kehidupanku.

    Namaku adalah separuh kasih dan kisah yang memadukan antara aku dan kerinduan terhadap ayahku. Ayahku adalah bagian dari bayang yang tak redup, namun juga tak terang dalam setiap nafasku yang menderu. Aku menjatuhkan sisa dari kesedihan menjadi sebuah harapan yang tak kunjung usai karena kegagalanku menjadi seorang wanita. Digambarkan sesosok wanita hebat adalah dia yang mampu melanjutkan hidupnya dengan berdiri di atas kaki sendiri tanpa banyak rasa menyerah. Mungkin aku belum sepenuhnya disebut sebagai wanita yang hebat sampai dengan saat ini.

    Perjalanan sudah memakan waktu 3 jam setengah, kurang lebih selama 1 jam 20 menit lagi akan segera sampai di Pantai Menganti, Kebumen, Jawa Tengah. Aku meneguk mineral di tasku kemudian, seraya melihat jam di tangan yang menujukkan pukul 12.30. Waktu sholat dhuhur sudah tiba, aku dan kawanan bertiga kembali melanjutkan perjalanan dan setibanya di Masjid daerah kota, kami beristirahat sejenak sambil menunaikan ibadah. Saat sedang hujan, aku berbisik pada khayal, dengan ditemani sekilas ungkapku pada dunia, bahwa tak seorangpun dapat menggenggam sebuah tangan yang sulit untuk dikembangkan menjadi nada.

    Siang itu, mengusik di antara penat dan gairah turunlah sebuah rintik hujan yang akan basahi semua sabda pada nirwana menuju lembanyung petang. “Gaiss, hujan nih, gimana?”, Andre yang sedari tadi tidur mendengkur tiba-tiba terbangun. “Udah mau sampai kok, justru kalau sambil hujan ditemani pasir yang memutih itu indah buat vibes nya gaiss, seolah kita sedang berdamai dengan alam yang membuat semakin tenang”, jelas Roni bak seorang pujangga yang menyairkan suasana. Aku hanya menahan tawa mendengar ucapannya itu. Aku mendengarkan bunyi hujan yang semenenangkan di hatiku, sekitar setengah jam perjalanan sudah kami lalui dengan berbagai suasana yang tak kalah menarik memikat di hati.

    Meskipun aku pernah berkunjung ke Pantai Menganti, Kebumen saat sebelum menjadi seorang mahasiswa, aku tetap merasakan adanya efek yang tidak pernah membuatku bosan akan perjalanan kali ini, setibanya kami menuju ke gapura yang bertuliskan “Welcome To Menganti Beach”, tepatnya dari arah ke kiri menuju jalan masuk Pantai Menganti di sebelah kanan Pantai Suwuk yang bersejajarkan ring road utama alun-alun Kota Kebumen, setelah itu mobil kami menuju ke arah reservasi untuk pemesanan tiket dan pembayaran retribusi tempat parkir.

    Siang itu, baik wisatawan maupun pengunjung terlihat hanya sedikit yang memadati Pantai Menganti, beberapa ada yang memilih mengambil gambar di wilayah bebatuan dekat pantai, ada juga yang memilih untuk bersantai sambil membuat tenda kecil di antara hamparan pasir dengan ditemani es degan dan cemilan khas lainnya, ada juga yang tidak berani ke arah pantai karena takut basah terkena air, dan ada juga yang sedang menikmatinya dengan santai dengan postur dan pengambilan foto dilakukan oleh personal fotografer unik.

    “Sayang sekali, kita sampai di sini vibes nya kurang dehh, tapi tak mengapa, lagipula bisa diambil foto yang terbaik dari handphonenya Ana”. Aku tahu benar apa yang dimaksudkan Khafid, “Makai punyaku?, Nggak salah nih?”, aku menjawabnya dengan pura-pura tidak tahu. “Aylah rell, kita bertiga lupa tidak bawa kamera, hehehe”. Aku tahu sebenarnya maksud mereka bertiga mengajakku liburan, ternyata aku memendam tertawa kecil yang sebelumnya sudah aku rasa sejak awal.

    “Okelah siaap, jadi sekarang aku yang jadi fotografernya yaa, dasar rombongan anak teknik sipil memang selalu punya banyak cara untuk membuat rencana, meskipun menurutku sedikit memanfaatkan situasi seperti membuatku menjadi fotografer. “Iya dong”, ucap Andre yang sedikit melirik panas ke arahku seraya merapikan rambutnya yang tidak berantakan. Memang seperti itulah, kita sebagai wanita hanyalah bisa menikmati setiap perjalanan yang indah.

    Di dalam kehidupan, ada kalanya setiap orang memiliki persepsi dan prinsip hidup masing-masing, kita melakukan setiap agenda sesuai dengan yang telah direncanakan dan bersifat tentatif tanpa harus menunggu kesimpulan yang tidak jelas. Di antara semua aktivitas yang kulalui sebelum aku duduk di bangku perkuliahan, aku mencoba untuk meningkatkan kualifikasi diriku untuk bersosialisasi terhadap dunia sekitar. Seperti yang dikisahkan di dalam Kisah Macapat (tembang Jawa) atau dalam Bahasa Indonesianya adalah lagu Jawa yang turun-temurun. Tembang Macapat muncul sekitar akhir masa kepemimpinan Kerajaan Majapahit dan mulai disebarkan dan dipopulerkan oleh Walisongo saat berdakwah agama.

    Tembang yang merupakan salah satu karya kesusastraan Jawa Kuno di masa Mataram Baru biasanya ditulis menggunakan Metrum Macapat, yakni berbentuk prosa atau gancaran. Lagu ini mengisahkan prosedural kehidupan, seperti perjuangan seorang ibu dalam melahirkan anaknya, anak yang tumbuh dan bergaul dengan sesama dan lingkungan, peran pemuda, kisah cinta, tirakad, amalan usia tua, serta manusia yang digambarkan pada saat meninggalkan duniawi.

    Aku memandangi sekeliling dengan saksama, manusia selalu membuat jalannya masing-masing, adapun aku sudah beranjak dewasa dan lebih mengenal kehidupan pada umumnya. Seorang wanita yang memiliki kesederhanaan lebih dikaitkan di dalam sebuah kisah perjalanan. Aku menghembuskan nafas dengan hangat, seperti seusai waktu siang yang melelahkan, aku hanya berjalan-jalan mengelilingi tepi pantai dengan handphone di tanganku, dengan selembar kertas yang akan aku tuliskan harapan di dalam indahnya Pantai Menganti ini.

    Aku melihat dari kejauhan Khafid, Roni dan Andre yang sedang asyik bermain ombak, seraya aku mengambil gambar dan video sekilas, aku memanglah tidak sepandai fotografer pada umumnya, sesaat aku juga belajar dari kisah perjalanan ini, antara detak yang bermaknakan ciri khas kita setiap waktu, di mana waktu adalah detak dari perjalanan dan letak adalah raga dari kehidupan. Aku mengerti bahwasannya manusia diciptakan adalah dengan tujuan menerapkan detak dan letak mereka di dalam gema kehidupan.

Sehelai daun akan berlayang ke tepian

Merajut buih hingga menembus nestapa serpihan

Anila yang menari menjadi saksi

Mengangkat beban kala dinginnya kabut menghampiri aksa 

Lalu, kemana aku mencari-Mu kala hati selalu gamang

Mengungkap nestapa, dengan nyata yang selalu hadirkan bhawa

Hati kian penuh janardhana dan gundah

    Aku menulis kerinduan pada sehelai kertas yang tak sengaja aku mengungkap pada air yang bergelinangan dalam putihnya pasir yang eksotis. Aku berandaikan bahwa tak semestinya aku harus merindukan sesuatu. Di dalam pengharapanku yang semakin tajam akan masa lalu membuatku harus menghinggapi setiap rimba sebagai temaram untuk jalan pulangnya. Bermimpikan nasehat yang orang berikan sebelum akhirnya kita menjadi asing. Aku mengingat dengan jelas bahwasannya aku dengannya bagaikan sebuah kepahitan yang harus aku hindarkan. Aku merasa bahwa ketika di sini hatiku semakin mengenang betapa bahagianya bila aku dijauhkan dengan orang-orang yang tidak gila akan materi. Sesungguhnya setiap materi yang kita tuangkan adalah selayaknya benda titipan yang bersifat fana, seperti juga perasaan yang dingin dikenang oleh keadaan.

    Waktu semakin berjalan cepat laksana angin yang selalu beterbangan setiap waktu dengan gerak jemarinya. Aku melihat jam menunjukkan pukul 14.30 dan kami masih enggan untuk bergegas pulang karena suasana di Pantai Menganti ini bagai sebuah kebebasan untuk jiwa anak rumahan seperti kami bertiga. Khafid, mahasiswa Teknik Sipil yang sama sekali belum menikmati dunia kerja waktu itu terlihat sangat ceria dari biasanya, sama seperti saat perkenalan kita pertama kalinya.

    Aku menempuh jalan di mana raga dan batinku selalu terluka dan kembali disakiti oleh sebuah harapan, aku merana di ujung genggaman tangan yang menyisakan tekanan. Aku memandang jauh dari panorama Pantai Menganti yang semakin indah dan bertahta dalam belenggu nestapa. Pantai yang indah, di mana harapanku bersama dengan waktu yang telah lampau akan hilang dengan sendirinya namun aku lupakan. Aku merasakan perubahan yang magis dalam diriku.

    Terkait luka yang telah lama aku kuras beserta dengan lengan yang menjadi tumpuanku selama ini. Aku pernah berkata pada diri yang semakin hilang di kala sedang menawan, aku mengadah pada sejenis luka yang tak seengganku membawa rasa semu. Aku hanya menikmati sekilas dan air laut tampak tenang, meski tidak biru seperti kala siang hari, namun pantai itu seolah menyisakan sebuah kerinduan bagi para penikmat semesta. Aku mengurai beberapa kalimat di mana sebuah kekecewaan tidaklah terlihat jelas di kalangan manusia-manusia pada umumnya. Seketika aku melempari sebuah makna yang tidaklah diketahui kenyataannya oleh seseorang yang mengedepankan dengan benar arti cinta sesungguhnya.

    Terkadang, ada kalanya kita belajar dari hujan, yang alirannya membasahi kekeringan. Kita berusaha menjadi deras dalam setiap panas api yang membara. Terkadang kita juga perlu belajar dari api, di mana api bersifat memurnikan segala ketidakberdayaan dan pelampiasan. Api yang bersifat panas yang mampu membakar setiap kegelisahan. Berfikir layaknya seperti mantra, yang tanpa perasaan selalu menggema. Kita jauh meninggalkan perasaan dan meninggikan logika dari seluruh nya.

    "Nggak mau main juga ta, sinilah ikut kamu saja mumpung masih jam 2 an", kata Andre seraya memercikkan air kearahku. Kurasa waktu sudah hampir mendekati sore hari. Perutku terasa agak sedikit lapar dan tak karuan. Aku memandangi wajah ketiga temanku itu bak pemuda yang kepanasan dan letih. "Nggak Fid, aku kan nggak bawa baju ganti, nanti malah repot lho, udah aku bagian motoin kalian bertiga saja deh, coba lihat nih, koreksinya ya kalau sekiranya kurang bagus nanti aku edit lagi", aku tersenyum sambil menjelaskan maksudku seraya memperlihatkan galeri yang ada di handphone ku.

    Aku banyak mengambil video dan gambar mereka bertiga. Aku menuliskan kisah mereka bertiga sebagai petualang sang pengembara, diceritakan pada kisah ini ketiga orang sahabatku menyusuri setapak demi setapak panorama Pantai Menganti dengan begitu menakjubkan. Aku sebagai pemandu pengelana membuat berbagai macam pemikiran akan sebuah perjalanan. Selebihnya kisah ini berlangsung singkat sesingkat detik bergemuruh di dalam angkasa, semenakjubkannya cakrawala melintasi nirwana di kala hujan tiba. Aku melukiskan betapa indah dan mulia Sang Pencipta.

    Ada setiap luka yang tidak perlu ditumpahkan pada batu. Ada sebuah gelinang air mata yang tidak perlu disampaikan kepada hujan. Ada sebuah keikhlasan yang tidak perlu diungkapkan pada langit dan awan. Ada pula penyesalan yang tidak perlu disampaikan pada samudera. Kita perlu belok ke arah pantai, dengan kesungguhan yang tidak usang untuk terus di gapai.

    "Bagus ini video dan fotonya, boleh kirim nanti di grub buat modal kami edit di komunitas kelas, emm.... Makasih ya An, kamu memang juara xixixixi.. ". Belum sempat Roni melanjutkan, aku berkata, "biasa aja deh, makasih juga selebihnya aku dibolehin nih ikut kalian, jadinya di rumah nggak bosan", aku mencoba menjawab dengan ledekan dan sedikit canda tawa.

    Ah, sungguh aku bisa mengerti tentang dunia luar, selebihnya sebelum aku berniat melanjutkan jenjang pendidikan strata 1, aku banyak sekali berpikiran yang terus-menerus menentangku dan entah apakah yang membuatku sembuh dari setiap luka yang tak hentinya bersinggah di jiwaku. Luka memang adalah senjata yang habis menggores setiap elemen dalam hati dan sejenisnya, namun tak ada niscaya yang menjauhkannya dari sebuah keikhlasan yang sejati.

    Di dalam perjalanan ini aku mengerti tentang cinta, persahabatan dan kebersamaan. Cinta tak selalu tentang perasaan sayang dan dua hati yang tenggelam dalam hasrat. Persahabatan tak selalu soal materi, raga dan irama. Dan kebersamaan bukanlah sebuah ambisi untuk dapat menjadi yang utama di antara sesama. Aku akan mengusahakan agar diriku terlihat baik-baik saja di antara mereka bertiga.

    Kini aku haruslah tetap berfokuskan pada tujuan dan cita-citaku di masa depan. Aku teringat akan semboyan Jawa yang tertulis di dalam Kitab Clokantara, “Tiga Ikang abener lakunya ring loka/iwirnya/ikang iwah/ikang udwad/ ikang janmasri//yen katelu/wilut gatinya//yadin pweka nang istri hana satya budhinya/dadi ikang tunjung tumuwuh ring cila//” yang artinya “Tiga yang tidak benar jalannya di bumi yaitu sungai, tanaman melata, dan wanita. Ketiganya berjalan berbelit-belit. Jika ada wanita yang lurus budinya akan ada bunga tunjung tumbuh di batu”.

    Adapun aku sebagai wanita yang dilahirkan dari keluarga yang tak lengkap, meski beberapa masalah namun tetap kuat dan tanpa ringkih sekalipun diuji dengan setiap kesedihan silih berganti. Seperti semboyan “Perempuan Jawa punya kekuatan cinta yang luar biasa walau kadang tidak tampak di permukaan. Sebagai kaum pria anda juga harus tahu bahwa wanita itu adalah mahluk yang misterius. Wanita bisa menyembunyikan benci di balik cinta atau sebaliknya bisa menyembunyikan cinta di balik benci”. Hari mulai petang, senja yang mulai perlahan memperlihatkan jingganya begitu juga dengan awan yang semakin mengirimkan tanda keabu-abuannya, serta bayangan fatamorgana yang melejitkan bias warna pelangi yang menyerupai di setiap detak jalanan yang ramai itu.

    Aku, Khafid, Roni dan Andre segera bergegas menuju ke warung makan di dekat Pantai Menganti tepat di pinggiran halaman parkir setelah seusainya kami menunaikan sholat Ashar di mushola. Aku melihat ada salah satu warung makan Bu Erni, “Special Seafood and Fried Rice”, untuk menyambut suasana hangat meskipun waktu telah mendekati petang hari.Kkami merasa begitu bersemangat untuk perjalanan kali ini dan tidak ada sebuah beban sama sekali di dalam pemikiran kita. Sempat aku berlari untuk melihat setiap wahana luar kota dengan harapan untuk lebih meningkatkan kualitas diriku. Iyaa, aku hanya senang menikmati perjalanan, di balik kisah yang begitu menguras kegelisahan, namun tidaklah berarti apa-apa sebuah impian yang akan terukir kala aku bersama dengan tarian ombak, sejuknya udara yang berbicara dengan nayanika, serta kebersamaan yang mengandung nilai kepahlawanan. Aku tak hanya mendapati orang yang aku cinta saja ketika membuat sebuah kisah seperti romansa, dan keunikan yang khas, namun dari perjalanan inilah yang membuatku merasakan kenyamanan ketika berinteraksi dengan alam yang mampu meningkatkan inspirasi akan toleransi.

    “Kita makan di sana saja yukk, gaiss”, aku berseru sambil mengajak mereka bertiga menikmati hidangan di warung makan Bu Erni “Special Seafood and Fried Rice”. Tak terasa sedari tadi perutku tidak kondusif. Pandanganku juga mulai kabur dengan perasaanku akan tubuhku yang bergetar dan agak sedikit cemas jika belum makan. “Okay, gass aja deh, aku juga udah mulai lapar nih, bakalan asyik kalau makan di warung Bu Erni deh, boleh deh An, kamu ambil daftar menunya ya”. Aku mengangguk pelan, kurasa mereka bertiga juga mengalami hal yang sama saat merasakan lapar. “Pilihin nih, yang cocok buat selera makan Andre, hhihihi”.

    Seperti biasa saat Khafid dan Andre sedang bercanda, aku sedikit tertawa, sambil melihat daftar menu, Roni mengambil topik pembicaraannya kemudian, “Gaiss, besok hari pertama kuliah persiapan udah pada beres belum yahh?”, tanya Roni sebagai driver yang tidak lupa akan persiapan mahasiswa baru pada Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Sains Al-Qur’an. Si Andre yang paling cerewet dan pasif memberikan komentarnya, “ahh, jangankan persiapan, aku nih nyari bahan yang dipersiapkan aja belum ada yang dapat, hhihihi”, jawabnya seraya memoncongkan bibir menahan tawa.

    Khafid menoleh ke arahku dan tersenyum sinis. Aku pun menjawab dengan santai, “Semangat bagi pejuang kelas Teknik Reguler, aku sih, PKKMB nya online, beda dengan kalian dan dianggap paling spesial...”, aku menahan tawa seketika saat mereka bertiga saling memandangi satu sama lainnya. Aku hanya terdiam sambil menuliskan pilihan menu mereka. Setelah 15 menit kemudian aku memberikan selembar kertas daftar menu kepada kasir untuk memroses transaksi dan menyiapkan hidangannya. Aku kembali ke meja makan tempat kami berempat duduk, tepatnya di meja nomor 14. Aku kembali melanjutkan perbincangan kami mengenai PKKMB dimana PKKMB itu sendiri adalah sebuah kegiatan yang berisikan perkenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru, dan kami berempat adalah salah satu mahasiswa baru dan masuk ke Tahun Akademik secara bersamaan, yakni Tahun 2022/2023.

    Kegiatan PKKMB antara kelas reguler seperti yang akan dilaksanakan oleh Khafid, Andre dan Roni adalah kegiatan yang harus dilaksanakan dan bersifat wajib sebagai pengenalan kampus dengan tujuan sebagai mahasiswa baru tidak kesulitan dalam bertatap muka, kontrak kuliah, sistem akademik, sistem perkuliahan, maupun ketatausahaan dan administrasi selama menjadi mahasiswa Universitas Sains Al-Quran di Wonosobo. Adapun pelaksanaan PKKMB bagi kelas karyawan/ekstensi, seperti kelas yang aku ambil bersifat tidak wajib diikuti karena memandang kesibukan mahasiswa yang sudah bekerja di luar kampus, dan begitulah yang diharapkanku ketika melaksanakan sistem perkuliahan di kampus, karena waktu yang juga terkadang bertabrakan dengan jadwal kuliah.

    Aku meneguk mineral yang ada di meja dan sudah tersedia, sambil menunggu pesanan menu yang sudah dikirim, aku dan mereka bertiga kembali menceritakan pengalaman kami saat sebelum masuk ke dunia perkuliahan. Aku tahu semuanya pasti memiliki cerita dan pengalaman yang berbeda, sama seperti aku pun yang memiliki kisah dan pengalaman dalam hidup selayaknya sebuah ukiran yang tidak akan pernah terungkapkan sebelumnya. Kami berempat bukanlah close friend yang sangat akrab dalam berbaur tetapi di dalam kisah ini kami sudah saling dewasa dan apa yang menjadi pengalaman baik di masa lalu, maupun masa sekarang adalah hal yang patut diikhlaskan dengan segenap kelapangan hati.

    Tak lama kemudian, pesanan makanan dan minuman kami sudah diantarkan oleh salah seorang karyawan di warung makan Bu Erni dengan ramah dan khas budaya Kebumen untuk melayani pembeli. Kami segera menikmati hidangan dengan secukupnya dan kulihat mereka bertiga sangatlah lahap menikmatinya, tak terkecuali aku yang sedari tadi menunggu hidangan bak tahanan yang sedang dibuat kelaparan dalam sel penjara. Hari ini sungguh terasa melelahkan, namun sebuah perjalanan akan selalu bermakna apabila kita sebagai penikmat alam menikmati anugerah yang telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

    Setelah menikmati hidangan bersama, kami berempat segera membersihkan diri bersiap untuk menunaikan ibadah sholat Magrib berjamaah sekaligus melanjutkan perjalanan pulang. Sejatinya, di dalam kehidupan yang fana inilah, kita harus menuju rumah untuk tetap bersinggah untuk memadamkan jiwa yang semakin rapuh akibat dari ambisi yang tak kunjung nyata.

Kisah dengan beribu genggam

Melantunkan iringan doa yang bergema

Tak engganku mengusaikan kelam

Kala hati yang menderu dibiaskan oleh pujangga


Biografi Penulis


Risa Nifshu Aminah, begitulah nama lengkapku. Aku dilahirkan di Kota Dingin Wonosobo, tepatnya di Provinsi Jawa Tengah. Aku berdomisili di Dusun Wonokriyo RT. 002 RW. 009, Desa Kembaran, Kecamatan Kalikajar. Aku menempuh pendidikan jenjang Sekolah Dasar di SDN 3 Kembaran (2007-2013), lalu berlanjut ke jenjang Sekolah Menengah Pertama di SMPN 3 Kalikajar (2014-2017), dan berlanjut ke jenjang Sekolah Menengah Kejuruan, tepatnya di SMK Andalusia 1 Wonosobo (2017-2020). Aku juga melanjutkan pendidikanku menempuh jenjang Strata Satu (S1) di Universitas Sains Al-Qur’an sebagai mahasiswa kelas pegawai Program Studi Teknik Informatika tahun 2022 lalu, sampai sekarang. Motivasi : Menjadi wanita hebat.