"Dibalik Alhamdulillah dan Astungkara,
Sebelum Sirna"
Karya : Risa Nifshu Aminah
Semua
orang pernah terluka, dan bahkan ada yang merasa sangat terluka sedari saat
mereka mengenyam angkara dan senandung kemenangan berpijak di bumi.
Hari itu,
terjadi sebuah perselisihan di tempat yang semenarik menjulang gunung, dan
setinggi sebuah Pura laksana Bathara Agung yang menempati. Sepi dan sejuk
mewarnai pagi buta yang terasa sangat mencekam.
Hari itu,
tepat berusia 1 tahun ketika seorang pemuda bernama I Cokorda Made Nali
Pramadya, dengan panggilan Made Ali, seorang pemuda darah Bali yang berhasil
menaklukkan hati seorang wanita berdarah Jawa dengan jajaran pemerintah daerah
Kabupaten Wonosobo.
Ia adalah
seorang pemuda bijaksana dan sederhana, seorang copywriter sekaligus penelaah
penyuntingan naskah dan berita. Dilihat dari namanya dia adalah seorang pemuda
ningrat (I), Made yang berarti anak kedua, Cokorda berarti dia adalah seorang
pria berkasta Waisya atau pedagang atau istilah lainnya wirausahawan dalam
sistem derajat tingkatan hidup umat Hindu di Bali.
Aku akan
menceritakan sosoknya yang selalu bisa membuat hati seorang wanita kelahiran
Jawa dengan sebuah cinta yang damai dan tenang, setenang lautan yang tidak dikekang
oleh derasnya ombak.
Waktu
itu, setahun yang lalu, dalam sebuah event untuk menjaring minat dan bakat para
muda-mudi tingkat nasional bertemakan ide tulisan, seorang wanita mengikuti
sebuah workshop online yang dinamakan "Show Run Writers" yang
berlokasi di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, lebih dikenal sebagai kelas
menulis pemula, mereka berdua diperkenalkan dalam media sosial dan mulai akrab
dengan memanggil nama Made Nali Pramadya sebagai Ali.
Dia
dikenal sebagai sosok yang akrab dengan dunia pertulisan, hakikat Pura sebagai
rumah ibadah umat Hindu Pedharman, pemahaman Kitab Weda, Bhagawad Gita dan
ajaran-ajaran normatif lainnya yang selalu menginspirasi umat Hindu di Provinsi
Bali.
Dan
seorang wanita yang aku sebut sebagai kekasih dari Made Nali Pramadya adalah
Nur Vaisa Adinika Prasasti, dengan nama panggilan Sasti, gadis Jawa yang lebih
dikenal dengan penghuni dataran tinggi serta pegunungan, dan mengapit dua gunung
ternama, yakni Sindoro dan Sumbing serta Dataran Tinggi Dieng yang melegenda.
Di antara
dua keyakinan yang berbeda itulah, sebuah rangkaian tasbih yang selalu
dilontarkan oleh Sasti akan bertolak belakang dengan Gelang Tridatu Made Nali
Pramadya, selama mereka berdua menjalin hubungan asmara tanpa sepengetahuan
keluarga masing-masing.
Kedekatan
mereka pun semakin dihadapkan pada sebuah kebimbangan, antara harus memilih
untuk meninggalkan kehidupan tanpa kasta (bagi Made Nali Pramadya) ataukah
harus meninggalkan pedoman hidup Al-Qur'an (bagi Sasti) itu sendiri.
Hidup
akan terus berjalan, walau ikatan batin yang kekal tak akan mendapatkan sebuah
jalan lurus ketika dipatahkan oleh rasa ketidaksamaan agama dengan tradisi
kehidupan. Manusia sendiri menempuh jalan kehidupan dengan tanpa sebuah
kesempurnaan, semua akan selalu berkembang dan berkurang. Adapun sebuah jodoh
dan takdir dari Sang Maha Kuasa. Itu adalah Wallahul A'lam (tiada yang
mengetahui kecuali-Nya).
"Hei,
apa yang kamu lakukan?", tanya pemuda itu yang sedari tadi menunggu di
dermaga Pelabuhan Tanjung Priuk Semarang. Terlihat dari jarak dekat, seorang
wanita tengah menenteng tas besar berisikan berbagai pasang baju dan keperluan
untuk sang pria.
"Keperluan
perjalananmu, aku tahu semua ini tidaklah mudah bagiku untuk mengingatmu dalam
sepanjang tahun lamanya setelah kita tidak bisa bertemu kembali", tampak
raut wajah yang murung pada seorang wanita yang berparas manis dan anggun itu.
Wanita itu menengadahkan kedua tangan memanjatkan doa pada Sang Kuasa untuk
keselamatan kekasihnya itu.
Setelah
memandangi raut wajah wanitanya, dia tampak lunglai melanjutkan langkah
perjalanannya itu menuju pelabuhan, ketika terlihat di depannya sebuah kapal
besar serupa Feri merapat di dermaga. Meskipun telah beberapa kali sepasang
kekasih itu berkabarkan melalui sehelai surat yang mereka tulis sepanjang
harinya, beserta dengan pesan singkat melalui WhatsApp tetap saja tidak dapat
membendung tangis wanita itu.
Akupun
tahu, kisah cinta yang mereka alami sepanjang titik pandang dari kejauhan.
Cinta beda agama. Antara sebuah Al-Qur'an dan Kitab Suci Weda. Pria itu
kemudian menggenggam jemari wanita itu. Lalu kedua tangannya mengusap pipi
berlinang air mata wanitanya itu.
"Aku
tahu setiap apapun hubungan kita itu tertulis dalam aturan agama kita, dan aku
yakini hal itu sebagai sebuah penyimpangan, karena bagaimanapun agamaku
melarang untuk berpacaran karena akan mendatangkan zina. Apalagi setelah kita
menjalani hubungan cinta beda keyakinan selama ini. Aku tahu mas Ali aku tidak
bisa menahan tangisku ini, namun entah kenapa rasanya sangat sulit untuk
melepaskanmu, cintaku", pekik wanita itu dengan tangis yang tertahan,
sebelum akhirnya dia menggenggam erat dada bidang pria di depannya itu.
Sesaat
setelah wanita berusia dua puluh lima tahun itu tenggelam dalam pelukan datar
prianya, kemudian dia berkata sekali lagi, untuk mengucapkan sumpah cinta
sebelum keduanya harus berpisah selamanya.
"Sampai
kapanpun aku akan tetap mencintaimu sayang, walau agama kita berdua tidak
merestui untuk bersama, kita dilahirkan dengan dalih keyakinan yang berbeda,
antara aku harus berdoa menengadahkan tangan kepada Alloh SWT, bertolak
belakang dengan kamu memuja Sang Hyang Widhi Wasa di tanah kelahiranmu, tanah
beradat dan berkasta di Bali. Aku mohon tetaplah jaga nama baik keluarga dan
budayamu, aku sebagai wanita yang kau pandang sebagai sudra (rakyat biasa)
telah meletakkanmu sebagai penopang dihatiku ini".
Sang pria
tidak dapat membalas kata-kata menyentuh hati wanitanya itu. Sosok Sasti dalam
cerita cinta ini adalah sebagai perwujudan tuan putri yang mengorbankan segala
keyakinan demi menjalin cinta terlarangnya bersama dengan Ali.
Sebuah
ajaran di dalam Kitab Suci Weda bersebutkan: tidaklah kamu berkelana mencari
ilmu, kecuali dengan pedharman yang berbeda dengan kamu mengimani Siwa sebagai
satu-satunya pencipta alam, lalu bagaimana kamu meninggalkan kewajibanmu
terhadap Sang Hyang Widhi Wasa yang kamu telantarkan itu?, dalam petikan Weda
shrutti dengan Weda Smrthi.
Agama
Hindu diwakili oleh Parisada Hindu Dharma dan mereka menetang pernikahan beda
agama ini dilegalkan. Hal ini karena dalam ajaran Hindu setiap pasangan
diharuskan menjalani sejumlah ritual yang mensyaratkan pasangan memeluk agama
Hindu. Perkawinan beda agama menurut Hindu dinyatakan tidak bisa disahkan
menurut wiwaha samskara sehingga bila dilakukan maka pasangan itu dianggap
tidak sah dan selamanya dianggap zina.
Sementara
itu, di dalam ajaran agama Islam yang melarang pernikahan beda agama terletak
pada firman Allah SWT Al-Qur'an Q.S. Al-Baqarah ayat 221 yang mengandung arti,
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik”, dan begitu juga sebaliknya.
Meskipun
keduanya tahu tentang pedoman hidup yang diyakini oleh mereka, akan tetapi
hubungan itu terus saja berlanjut hingga pada hari inilah antara alam yang
diistirahatkan dari gemuruh dada yang menusuk pandangan mata sepasang kekasih
bertakjubkan cinta, kedua sejoli itu dikaitkan bagaimana seorang yang
menjalankan perjalanan namun tak akan pernah sampai pada kafilah-Nya.
Beberapa
menit kemudian setelah Sasti melepaskan hangat pelukan dari kekasihnya itu, dia
kembali bergumam pada Ali, "Jaga dirimu baik-baik, Mas... ", belum
selesai Sasti berbicara, tiba-tiba Sang Ningrat Ali berbisik seraya menyentuh
pipi Sasti dengan gemulai. "Kita mengikhlaskan kehidupan masing-masing, di
mana Tuhan tidak pernah berhenti menyayangi kita, meskipun kita berbeda, Tuhan
itu selalu ada dalam setiap aliran darah kita, kita berkeyakinan bahwa Tuhan
itu satu, apapun itu, kita lepaskan cinta ini, sampai di sini kita berjuang, di
mana setelah satu tahun yang lalu, kamu memberikan semua kasih sayangmu dan
menjadikanku bagian dari kenangan hidupmu, wahai umat Tuhan yang aku
semogakan".
Rintihan
suara itu bagaikan petir di siang bolong, hembusan dermaga seolah menjadi saksi
bisu perpisahan sepasang kekasih dengan berlatar agama yang berbeda. Jari
jemari para penghujung jalanan membuat mereka menjadi Kilauan duri yang tidak
akan pernah bersama menjelang sebuah ikatan batin.
Kini
keduanya dengan rasa pasrah, perlahan akan saling mengikhlaskan satu sama lain,
disertai dengan sebuah rasa yang mungkin masih sama terhadap apapun di
masa-masa kebersamaan mereka.
Beberapa
menit kemudian, bunyi sirine kapal yang telah berdentang di Lautan Ketapang
akan segera berlayar menuju Gilimanuk membawa Made Ali ke tanah tempat
kelahirannya, Bali.
Sementara
Sasti tersenyum dari kejauhan, dengan tetap menahan segala riuh dalam dada,
melepas sang kekasih. Memang tidak semudah itu, namun kisah cinta mereka
membuat sebuah pembelajaran yang sangat berguna untuk ketaatan terhadap ajaran
agama dan keyakinan masing-masing.
=======
Bionarasi
Namaku Risa Nifshu Aminah. Biasa
dipanggil Risa. Lahir di Wonosobo, 01 November 2001. Bekerja sebagai Karyawan
Honorer di Kantor Kelurahan Kalikajar. Aku suka menulis. Salah satu karyaku
akan ku kembangkan menjadi sebuah kata yang benar-benar hidup, dengan motivasi
sebagai penulis, kita tidak boleh putus asa terhadap apapun kemampuan kita.