• Hari ini: December 22, 2024

SEKUNTUM SIRNA TIRANTI

22 December, 2024
91

SEKUNTUM SIRNA TINANTI

Risa Nifshu Aminah

 

Wani Ing Tata Abhipraya

Aku masih di sini, menantimu

Sedalam air mata yang selalu ada di balik senyummu, lalu kepergianmu

Hamparan laut dalam yang lepas dan dingin di hatimu

Di antara hantaran luas pasir tempat kau tulis kemegahan itu,

Abhitah

Segenap litani memanjatkan

Adalah sajak yang tak tinggakan sayap

Dan mahkota yang tak hilangkan raja

---

  Aku adalah serentetan garis yang merindukan titik masa, di mana secuil harapan adalah sekuntum warna dan sirna yang meluap ke dalam lautan kelam. Namaku Maya Andara Tinanti, selebihnya garis hidupku terletak pada kehausan rinduku memerlukan sang ayah. Iya, dia adalah ayah yang selalu aku dambakan agar datang ke dalam hidupku, entah apa yang memisahkan aku dengannya, gadis malang ini berhenti untuk menangis dalam peluk diri. Termenung terhadap perjuangan dan menepis keadaan di manapun keberadaan takdir menyisipi. Pada jemari yang diliput keraguan, lalu dibuat merana oleh luka yang membuat diri semakin terlupa.

  Aku adalah maya yang bukan hanya sekedar nama belaka. Duniaku dan ambisiku semuanya berpihak pada jalan nasib yang semakin berputar ke arah penantian. Aku tidak sekuat senja yang pilu menyembunyikan derita, bukan juga jingga yang meniadakan keemasannya, namun aku adalah dahaga yang merindu pada dermaga. Aku selalu pulang pada bukit yang meninggalkan ketinggian dan gunung yang mengusaikan keindahan. Maya adalah simbolis ketiadaan, Andara adalah cahaya dan kesempurnaan, serta Tinanti adalah menunggu akan penantian. Jadi, bila digabung yang berati namaku adalah tiada cahaya penantian.

    Aku telah menunjukkan pada dunia dan jiwaku sendiri di mana menyakitkannya sebuah penantian adalah ketidakpastian, bila manusia dilahirkan tanpa kesempurnaan itu adalah kenyataannya. Namaku yang cukup menjadi bagian terdepan kehidupanku telah memberikanku berbagai pengalaman yang semakin menakjubkan. Aku adalah wanita yang terlahir tanpa kasih sayang seorang ayah. Sang buah hati yang merindukan peluk serta penopang jiwa yang menuai bahagia. Aku merasakan betapa pentingnya menciptakan keharmonisan dalam setiap jalan sebuah hidup, baik terasa pahit maupun manis untuk dirasa, seperti pada umumnya, sebuah filosofi akan wanita pada masanya makhluk Tuhan yang didambakan pada magisnya sebaik-baik insan di mata sesama.

    “Dalam setiap perjalanan, wanita selalu mendapati berbagai rintangan dan derita, tanpa silih berganti, menjadi nayanika yang terlihat usai dalam setiap pengorbanan”, wanita Jawa yang menyimbolkan klasikisme pengabdian. Namun pada hakikatnya seorang wanita tidaklah melulu berfokus pada amanah. Tidaklah memiliki acuan dan tindakan yang dilimpahkan terhadap jiwa yang tidak tenang. Seperti ketahuilah, aku tidak sekuat manusia yang sedang terluka. Namun aku juga tidak akan menjadi wanita yang lemah. Aku menggapai keberanian yang diambil dari kepercayaan pada agama.

    Setiap elemen menceritakan kehidupan yang berjalan tanpa arah, kita sendiri yang mengatur dan menunjukkan jalan pada nurani dan akal sehat. Seorang wanita adalah lemah yang terwujud dan akar yang tidak kekurangan tekad. Selama aku masih bisa bernafas, kelam tak mengundang akan kekalahan yang pasti iringan nasehat dan bhawa yang spesifik pergulatannya. Wanita memperoleh kasih sayang yang serupa dengan genggaman tangan seorang ayah yang selalu gembira. Melihat berbagai macam badai yang mudah untuk diselesaikan, aku meratapi segala derita dengan pilu.

    Malam hari tiada pening dan tandus. Aku berandai akan keterlibatanku mencapai mimpi, terasa sangat sulit dan sangatlah haru untuk diliputi ragu. Sepenggal kisahku, Maya Andara Tinanti memulai kisah dan perjalanan hidup bagai sebuah meditasi di kala gurun berjatuhan terlilit sakit.

    Tentang bagaimana takdir memberikanku tempat di antara kesendirianku menanti sang ayah, aku tengah bergumam pada diriku sendiri bahwasannya ayahku selalu ada dalam diriku. Ketika waktu telah tiba, dengan segenap keberanianku, aku menapaki setapak demi setapak setiap langkah menuju rumahnya.

    Aku tahu bahwa sebenarnya rumah kami masih dalam satu kompleks pedesaan, aku tinggal bersama dengan nenek dan kakekku di Dusun Wonokriyo dan ayahku bersama dengan keluarga barunya tinggal menetap di Desa Kembaran masih dalam satu wilayah kecamatan, tepatnya Kalikajar. Meskipun dengan keraguan yang mendalam di hati, aku tetap ingin mencoba menemuinya di mana di sana aku bisa memeluk erat tubuh ayahku dan tidur di pangkuannya dengan lembut menceritakan segala perjuanganku, kerapuhan hatiku, segala ambisi dan mimpiku menjadi orang yang bijaksana dalam setiap langkah menuju kafilahku.

    Lihatlah aku, Maya Andara Tinanti, yang setiap detik dan tangisnya tetaplah merindukan sang ayah meski dalam hatinya terpikirkan mimpi dan tujuan sebagai wanita yang berhasil di masa depan. Selama hari belum petang tetap kugapai masa depan. Belum sekarang, tetapi suatu saat aku akan memelukmu di atas beban perjuangan yang sudah kuselesaikan hingga tak ada seorangpun yang memanggilku gadis tanpa ayah. Aku yakin pada diriku.