SEPENGGAL CERITA 'KEMBARAN BALLON CULTURE FESTIVAL' WONOSOBO AS CAPPADOCIA
Karya : Risa Nifshu Aminah
"Assholatu Wassalamu
'alaih...., Ya imamal mujaaahidiiiiiiin...."
Memecah keheningan malam dan kesepian sewaktu bagian Indonesia Barat pada malam terakhir menuju lebaran hari ke-2, Kota Wonosobo yang sedingin khas dataran tinggi Provinsi Jawa Tengah.
Telah berkumandangnya suara dari arah Masjid Roudhotul Muttaqin, sebuah seruan dengan tujuan agar manusia terbangun dari tidurnya yang lelap, tidur semalaman penuh yang akan membuat energi dalam badan bergelimang kembali, serta bunga tidur yang selalu menjumpai membuat mata tak kunjung terbuka. Perlahan aku menghembus nafas dan menengok jam dinding di sebelah kiri atas kamar tidurku yang menunjukkan pukul 03.30 WIB. Tubuhku terasa lebih bersemangat kali ini, aku tidaklah memasang alarm untuk membangunkan ku seperti biasanya, cukup dengan suara Ahyana, atau lebih dikenal sebagai suara yang dikumandangkan untuk mengingatkan umat Islam akan kewajibannya menjalankan sholat subuh.
Di hari kemenangan ini, aku merasa bahwa akan ada jalan di sepanjang cerita yang aku limpahkan kepada secarik kertas ini. Setiap hari, manusia selalu berkembang terhadap jalan dan siklus kehidupnnya yang berganti-ganti. Aku memberanikan diri untuk tegak dan memutuskan untuk segera menjalankan sholat Sunnah Fajar (sholat yang dilakukan sebelum Subuh), tidak seperti biasanya, manusia selalu dipenuhi dengan rintangan dan godaan setiap akan menjalankan ibadah kepada Tuhannya. Aku tidak begitu memikirkan apapun yang telah aku jalani, hari ini terasa begitu menenangkan nuraniku.
Hangat mentari berbinarkan gemintang fajar yang berhasil membangunkan manusia-manusia pejuang dua rakaat sebelum Subuh tiba. Suara ayam jantan yang berkokok memadati penjuru desaku di hari yang sama. Hari Idul Fitri, tepatnya hari kedua kita, umat muslim menjalankan hari suci penuh dengan kemenangannya melawan angkara murka yang berfokuskan menyucikan jiwa. Embun yang bertumpukkan bulat beningnya di antara dedaunan pun tengah memberikan sejuk suasana yang sedari kemarin dipadati oleh hiruk pikuk jejalanan. Pulau Jawa adalah jalan pulangku sekaligus rumah bagi setiap perjalanan hidupku.
Kota dingin Wonosobo, tempatku dilahirkan dan dibesarkan dengan budaya dan tradisi pelaksanaan Festival Balon Udara sejak 1990 silam oleh Kyai kharismatik bernama Kyai Sonaji, di mana warisan budaya ini sejak tahun 2011, seorang dai dan tokoh penerbangan balon udara di Desa Kembaran telah rutin menyelenggarakan festival ini, menarik ribuan pengunjung dari berbagai daerah untuk menyaksikan keindahan balon-balon berwarna-warni yang melayang di langit.
Inilah Desa Kembaran, dengan pesona alam khas pertanian dan sawah yang menghijau menghujani kelopak mata para penggemarnya. Aku membuka pintu kamar dan segera membersihkan diri untuk menjalankan sholat Fajar, di sekeliling rumah aku melihat ratusan lampu berwarna laksana titik-titik kecil penerang jejeran rumah di desaku. Suasana desa yang dingin membuatku tidak merasa lemas dan berkeringat sama sekali. Aku menengadahkan tangan membuka kran air di kamar kecil, seraya mengucap Bismillah untuk mengawali wudhu, dengan segenap hati aku ingin bersungguh-sungguh menjadi sosok wanita yang bersahaja.
Dengan tanpa Sang Ayah yang menemani sedihku, aku berharap menjadi sosok yang lebih kuat menjalankan kehidupan. Seperti guruku yang pernah menjelaskan bahwa sejatinya kehidupan akan terasa lebih mudah apabila disertai senyuman. Kita tidak perlu mengejar kesempurnaan. Kesempurnaan itu milik Sang Ilahi. Kita seperti laron, sedang berjuang keluar dari lubang tanah yang gelap kemudian terbang menuju cahaya. Kehebatan laron, bukan ada pada kesanggupannya terbang menuju cahaya. Kehebatan laron terletak pada, setelah menemukan cahaya, ia membiarkan sayap-sayapnya jatuh berguguran di bawah cahaya. Itulah kemenangan.
Setelah selesai wudhu, aku kembali masuk kedalam rumahku, dan segera mengenakan mukena untuk memposisikan diri menjalankan sholat fajar. Entah mengapa sebelum menjalankan sholat fajar, air mataku menetes seketika, aku tidak dapat menahannya. Aku ingin bercerita banyak kepada Tuhan, tentang sedalam merintih atas beban dosa yang ku perbuat di masa lalu, dan tepat di hari kemenangan ini aku berserah diri pada-Nya, segala sesuatu yang membuatku merasa terhindar dari kebisingan cinta, gemerlap nafsu, dan semua tentang masa lalu yang tak kunjung membaik untuk terus diingat dalam diri yang fana ini.
Cintaku bagai fatamorgana di atas birunya langit Kota Wonosobo, beberapa balon udara yang diterbangkan bagaikan sebuah iringan khas Negeri Cappadocia di ujung belahan bumi Utara. Aku berjalan di segerembolan manusia-manusia yang bercerita dan bergurau, aku mengamati keadaan sekitar layaknya seorang musafir yang menantikan ketenangan di dalam keramaian. Aku tersenyum melihat suasana sekuat bumi menggenggamnya. Sungguh peristiwa yang begitu dahsyat untuk bisa dimenangkan.
Matahari yang semakin terik tidak dapat menggugurkan niat para peserta Lomba Balon yang akan segera didaratkan di udara. Ada beberapa peserta yang berpartisipasi mengangkat kejenuhannya melalui ungkapan rasa di setiap desain, corak warna serta keindahan dimensi ruang potret setiap balonnya. Ada yang bertuliskan Pandhawa Lima (pahlawan berjumlah lima), menurut budaya Jawa Pandhawa Lima adalah pahlawan dalam Wiracarita Mahabharata yang melawan angkara murka para 100 Kurawa yang terdapat pada Kisah Heroik Pewayangan dan diperankan oleh Auliya' di mana dahulu disebut dengan Waliyulloh (Wali Songo dalam pusat perdagangannya di tanah Jawa menyebarkan agama Islam), Sunan Kalijaga atau dikenal sebagai Raden Syahid di Tanah Jawa pada pertengahan abad ke 15-16. Yudhistira yang dijuluki Sang Pemegang Teguh Kejujuran Putra Bathara Yama, Bima (Werkudara), Sang Pejuang tangguh Penakluk Raksasa Putra Bathara Bayu, Arjuna Kesatria Pemanah Terbaik Murid Drona Putra Bathara Indra, Nakula dan Sadewa, kesatria kembar Pengobat Luka putra Bathara Aswini Kumar yang berada di dalam balon karya pemuda Desa Kembaran oleh partisipan SLB (Setyo Langen Budoyo) Wonosobo yang berpartisipasi menghias desain Balon yang diterbangkan.
Gambar tarian Lengger adalah corak utama simbol kesenian yang dikembangkan oleh komunitasnya. Adapun lukisan manusia menyerupai wajah iblis yang bersimbolkan abstrak berbasis warna hitam, biru dan putih, di mana terdapat makna yang terkandung bahwa dalam diri manusia terdapat kebaikan dan keburukan dan di pertengahannya adalah biru sebagai lambang persahabatan dan kedamaian hidup, karena manusia tidak sempurna seperti Gusti ingkang Murbeng dumadi, Gusti ingkang Karya Jagad, Tuhan yang maha Kuasa.
Aku kembali meneruskan perjalananku menikmati salah satu balon yang sudah berhasil terbang sejauh 2 meter di kaki langit, tampak potret gambar wajah seekor singa beserta rambutnya dengan corak garis berwarna hitam dan kuning sebagai simbol keberanian dan kegagahan, karena sejatinya sekeras apapun ego yang terdapat dalam diri manusia akan terkalahkan dengan pengendalian pikiran yang lurus dan kesabaran, warna hitam melambangkan kegagahan dan ego, warna kuning melambangkan kemenangan.
Tampak di sebelah timur Lapangan Ronggolawe Desa Kembaran yang bergambarkan lampion belah ketupat berjajar dengan warna primer merah, kuning, biru dan ungu yang bermakna bahwa dalam menjalani kehidupan manusia harus mengamalkan pokok pikiran dan prinsip untuk menuju penerangan sehingga lebih mudah untuk menggapai cita-cita. Ada beberapa banyak nilai-nilai budaya yang terkandung dalam setiap desain balon.
Waktu semakin cepat berlalu, jam tanganku menunjukkan pukul 07.30, beberapa pengunjung semakin memadati area lapangan. Para pedagang kaki lima pun sampai dibuat berkeringat karena aktivitas pagi hari itu terasa sangat padat dan penuh dengan gemerlap keriangan. Sorai demi sorai senantiasa berkelebat di sepanjang lapangan yang berluaskan kurang lebih 20 meter persegi itu.
"Dik, minta tolong fotokan ibu bersama anak cucu di sini, adik fotografer ya??", salah seorang wanita paruh baya menghampiriku seraya memberikan smartphonenya di hadapanku. Aku seperti dibuat malu olehnya, sedari tadi pagi melalui drama sebelum subuh pun, aku tidak akan menyangka seandainya saja seorang introvert sepertiku berusaha mencari ketenangan dalam keramaian lapangan Desa Kembaran itu.
Dengan langkah agak lunglai aku membalas wanita paruh baya itu, "Njih Ibu, pangapunten wonten pundi nggih lokasinipun", aku tersenyum seraya menawarkan tempat mana yang akan dijadikan background self foto mereka. Lalu wanita paruh baya itu menjawab, "Mriko mawon nopo, wonten sebelah Balon ingkang gambar Lampion hehehe", wanita paruh baya itu menjawab seraya menunjukkan padaku ke arah timur lapangan. Dia ingin berfoto di depan balon bergambar lampion. Akupun mengangguk seraya menggenggam smartphone ber-merk Oppo A5 itu. Aku memposisikan diri sejajar dengan posisi mereka berlima. "Sepertinya ibuk beserta Anak dan Cucu ibu lebih baik di area membelakangi sinar matahari, agak geser ke kanan lebih tepatnya", ucapku seraya memegang smartphone itu. Aku memposisikannya secara landscape agar foto terlihat lebih mengesankan dengan pemandangan langit yang identik dengan kebiruannya. "Oke dik, matursuwun sanget, fotone apik koyo si cantik sing moto".
Tak terasa matahari semakin terang mewarnai biru langit yang tersapu oleh awan putih tanpa kabut sekalipun. "Sami-sami Ibuk, matursuwun Bu hehe, Ibuk meniko asalipun saking pundi nggih?", aku menanyakan alamat asal wanita paruh baya itu karena di dalam perbincangan kami sepertinya dia juga berasal dari Jawa, kemudian dia menjawab dengan ekspresi santai dan sedikit menahan tawa, "Saya dari Provinsi Lampung dik, tinggal di Bandar Lampung tepatnya kecamatan Bumi Waras".
Aku tersenyum kagum dengan jawaban wanita paruh baya itu. "Tapi Ibu bisa berbahasa Jawa seperti kami?", aku menanyakan secara lebih detail karena obrolan kami semakin siang semakin terasa asyik untuk menghibur kesendirianku berada di keramaian. Aku begitu tidak menyangka, bahwa apapun cerita di dalam perjalanan akan selalu mendatangkan manusia-manusia berhikmah dalam setiap keyakinan dan prinsipku. "Saya sebenarnya kelahiran Jawa dik, akan tetapi sejak berumur 5 tahun saya ikut orang tua mengenyam ilmu umum, pendidikan, ilmu agama, dan tumbuh di pesantren Kita Bandar Lampung namanya Pesantren Nurul Islam Center di Kelurahan Garuntang, Kecamatan Bumi Waras".
Aku tersenyum seraya meneguk mineral di tanganku. "Waah, ibu jauh-jauh dari Bandar Lampung menuju ke Wonosobo, hanya untuk tujuan menonton festival balon udara?, saya senang sekali bisa dipertemukan dengan Ibu di hari kemenangan ini, tanpa sengaja Tuhan memberikan saya pengalaman teruntuk hari ini, begitu banyak lukisan dan gambar di balik warna dan corak, untuk mengingatkan manusia akan kehidupan, dengan Ibu yang memberikan saya sebuah persahabatan akibat pertemuan pagi ini", aku mengutarakan perasaanku sedalam angin yang melesatkan hembusannya di cakrawala.
"Senang berkenalan dengan adik, kalau boleh tau adik namanya siapa?", ucap sang wanita paruh baya itu kemudian, akupun tidak sungkan memperkenalkan diriku kepada wanita paruh baya itu. "Nama saya Rasya bu, asli dari Wonosobo tepatnya daerah Kalikajar, Dusun Wonokriyo, Desa Kembaran. Saya juga merasa senang diperkenalkan dengan ibu, dan untuk meningkatkan silaturrahim, boleh saya save WhatsApp nya Bu?, dengan ibu siapa?", tanyaku kemudian berusaha untuk mengenalnya secara leluasa. "Saya Ranum Anggoro Wati, biasa dipanggil Bu Wati, sebelumnya saya makasih banyak ya dik Rasya sudah bersedia membantu saya mengambil gambar dalam festival yang mewah ini", begitulah, akhirnya aku mengetahui sosok wanita paruh baya itu adalah Bu Wati, kelahiran Jawa namun berdomisili di Provinsi Lampung untuk mengenyam pendidikan dan ilmu agama sedari kecil.
Jam menunjukkan pukul 08.15 WIB, aku hampir lupa bahwasannya seusai menyaksikan festival balon udara, aku harus keliling silaturrahim ke rumah-rumah kerabat, saudara, teman, rekan kantor dan para sesepuh (orang tua terdekat) yang belum aku lakukan saat lebaran hari pertama. Setibanya semua balon tengah mendarat di udara dengan angin yang sepoi stabil, aku memutuskan untuk meninggalkan area lapangan untuk tujuan menghindari kemacetan yang melanda di sepanjang wilayah Desa Kembaran itu.
Aku kemudian berpamitan dengan Bu Wati untuk pertama kalinya saat kami dipertemukan di lapangan itu. Sebenarnya banyak cerita yang terkandung dalam obrolan kami sedari tadi, hanya saja setiap orang dipertemukan dengan tujuan untuk saling berbagi pengalaman dan perjalanan hidup menjadi seseorang yang sukses seperti saat ini. Aku bersyukur karena mendapatkan teman perjalananku saat ini dan bermanfaat seterusnya.
Aku melangkahkan kaki meninggalkan area lapangan yang padat berisikan ribuan pengunjung menuju ke perempatan Desa Kembaran untuk segera bergegas melanjutkan silaturrahim bersama dengan temanku yang sudah menunggu di perempatan. Aku meneguk mineral yang ada di tasku.
Tanpa sengaja sinar mentari mulai terasa terik dan panas, hawa di pagi hari menjelang siang itu sudah dipenuhi dengan parkiran kendaraan roda 2 dan 4. Aku bergumam pada sekeliling, sebentar lagi suasana di sepanjang jalan akan macet. Sesampainya di pertengahan aku melihat wanita dengan bercelana jeans biru, berjaket army dan jilbab hitam dengan helm bogo mini warna cokelat tengah berhenti di area perempatan depan warung kelontong. Itu adalah temanku, Nayla yang sudah siap menjemputku untuk berangkat silaturrahim bersama-sama selama seharian penuh.
Perjalanan akan terasa lebih menenangkan di hari yang penuh dengan kemenangan ini. Di area perempatan, penjagaan ketat oleh 2 orang laki-laki berbusana khas polisi tampak sedang mengatur kendaraan yang lalang memenuhi perempatan. Aku menghampiri Nayla seraya mengenakan helm untuk keselamatan di jalan raya. Terimakasih hari yang Fitri, terimakasih Bumi Pertiwi ku, Tanah Jawa yang tiada henti menengadahkan wujud syukur dan apresiasi budaya terhadap warisan kharismatik pedesaan lereng pegunungan.
Semoga setiap tahunnya
budaya itu tetap hidup dan melekat dalam nadi keagamaan Tanah Jawa.
Kota
Dingin Wonosobo, 11 April 2024