Ibuku tercinta, saya ingin bertanya, "Mary lahir sebelum saya kan? Dia belajar berjalan sebelum saya, dan berbicara sebelum saya, kan?" Sayangnya, sekarang dia tetap selangkah di depanku. Bukankah saat saya menulis ini, mungkin dia hampir bertemu denganmu. Sebenarnya, ibu, sudah sejak lama Mary layak bertemu denganmu. Dia lebih layak mendapatkanmu daripada saya. Cintanya padamu luar biasa besar. Tolong jangan salah paham.
Saya juga mencintai ibu.
Saya mencintaimu sebesar Mary. Tapi dia mencintaimu tanpa pernah mengetahui betapa senangnya menjadi putrimu. Dia mencintaimu tanpa pernah mendapatkan apa-apa darimu, tanpa pernah kau peluk ketika dia takut, tanpa pernah bersandar di dadamu sampai terlelap. Seperti yang dulu ibu bilang, "Cinta bukanlah cinta jika Sang Pencinta meminta imbalan."
Jadi, ibu mana di antara kami berdua yang layak jadi putrimu? Mary atau saya? Saya tidak takut lagi pada jawabannya. Dia saudari kembarku. Karena saya selalu mengikuti langkahnya, mungkin kelak saya juga bisa layak jadi putri.
Bukankah kami selalu bernasib sama sampai sekarang?
Tumbuh dengan satu orang tua, dihujani perhatian oleh yang lain, kecintaan kami pada tulisan, mimpi-mimpi kami. Menurut urutan kejadian yang pernah dialami Mary, sebentar lagi saya pun akan bisa bicara dengan mawar.
Tapi kelihatannya itu tidak mungkin, kan? Bukankah mukjizat hanya terjadi dalam dongeng?
Tapi tetap ada pertanyaan yang mengganggu pikiranku, ibu dalam dongeng, semua jagoannya tidak pernah membuat janji yang tidak pernah mereka tepati, kan? Kalau begitu, jika yang saya dengar di taman mawar adalah sebuah dongeng. Jadi dia harus menepati janji, kan? Suatu hari nanti, kau pasti bisa mendengarkan mawar itu yang dikatakannya padaku.
Entahlah, ibu.
Kenyataan, ketakutan, harapan saya Mary semuanya begitu campur aduk.
Saya sangat ingin mendengar suaramu.
Oleh: Agnes Moti