Panas terik matahari di siang itu membuatku merasa kepanasan. Di ujung Timur awan mulai menebal kehitaman pertanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Panas di siang itu pelan-pelan menjadi mendung.
Aku keluar dari ruangan itu lalu memandang berbagai jenis tanaman dengan segala keindahannya bergerak mengikuti arah angin yang bertiup secara perlahan. Mereka sedang menanti datangnya sang hujan, kataku dalam hati. Di atas sana di ruang perpustakaan orang-orang lalu lalang sambil menggendong buku-buku, dan segala aktivitas yang terjadi di sana.
Aku berniat untuk menghampiri mereka dengan tujuanku tersendiri. Aku mengenggam sebuah buku kecil ditanganku melewati lorong-lorong ruangan yang berjejeran rapi itu.
Ketika hendak menaiki tangga, aku dikagetkan oleh seorang perempuan berbadan kurus, kulitnya yang coklak kehitaman dengan tasnya yang berwarna putih keabu-abuan di belakangnya, dilengkapi dengan baju berkerak berwarna merah maron dan sepatu balet hitam yang melengkapi penampilannya di siang itu.
Aku mengenal siapa dia. Aku memberi salam kepadanya lalu mengajaknya untuk berbicara. Ia hanya berdiri mematung tanpa sepatah kata pun. Aku memandanginya lebih dalam lagi. Perlahan-lahan air matanya jatuh. Entah apa yang sedang dirasakannya saat ini. Perlahan aku mulai membaca gerak-gerik dan arah pikirannya.
Aku bertanya, "Kenapa, ada apa denganmu? Apakah ada masalah? Ia hanya tunduk dengan air matanya yang terus mengalir. Apa yang harus kulakukan? Kataku dalam hati. Perlahan aku berusaha untuk menenangkannya namun usahaku sia-sia saja, ia terus menangis.
Dengan pertanyaan demi pertanyaan, ia lalu mulai membuka pembicaraan, namun katanya terbata-bata karena tidak bisa menahan air matanya. Setelah menceritakan semua aku mengusap air matanya lalu berbisik di dekat telinganya, "Kita ke ruang kecil itu yukk! Mungkin belum dapat ijin darinya, ia menunggumu di sana". Katanya. "Aku sama sekali tidak ada niatan sama sekali untuk ke sana, aku kecewa". Aku bingung entah apalagi yang harus aku lakukan untuk berusaha mencari jalan keluar.
Semakin aku membujuknya, semakin ia dengan keras tidak ingin ke tempat yang aku inginkan. Tanpa kata, tanpa tatapan ia merenung lalu menatapku sambil berkata, "Temani saya ke sana yahh sekarang!" Aku tersenyum dan terharu melihat tingkahnya. Tuhan memanggilnya dalam diam. Aku memeluknya sambil melangkah keluar dari ruang kosong itu.
Di luar sana, awan putih menutupi seluruh ruangan dan halaman itu. Ia terus menangis memikirkan segala yang terjadi atas dirinya. Hujan di akhir bulan ini membawa tangis atas perjuangannya. Mengapa aku harus sakit di saat seperti ini? Itulah kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kami berdua melewati lorong-lorong itu dengan mata semua tertuju pada kami.
Aku dan dia tak menghiraukan itu semua. Ruang kecil itu (Oratorium) menjadi saksi bisu antara aku dan dia dalam segala cerita, kisah dan pengalaman yang telah terlewati. Hujan di siang itu membawa semuanya dalam awan membungkusnya lalu perlahan-lahan menghilang.
Cukup sampai di sini, hari masih panjang masih ada kesempatan, apapun kondisi dan keadaannya saya siap dan bisa hadapi, demi dia yang yang aku perjuangkan saat ini. Dialah cita-cita yang belum terwujud.
Marcella Ceunfin