ANGKA 18 KEMBALI BERKISAH
Malam yang dingin disertai angin yang sepoi-sepoi, suara hentakan kaki yang makin lama makin mendekat, pertanda ada orang yang berjalan melewati sudut ruangan yang aku tempati itu.
Sebuah laptop berwarna putih yang tersambung arus listrik berada di depanku. Di balik layar laptop itu ada sebuah tulisan "Jejak Iman Spiritualitas" yang sedari tadi menemaniku untuk terus-mencari tahu akar masalahnya. Juga sebuah buku yang sengaja aku simpan di samping kiriku dengan judul "Mind And Action". Aku terus menyimaki kedua buku itu dengan membaca satu persatu dan berusaha untuk memahaminya.
Tanpa aku sadari jam menunjukkan pukul 19.40. Aku meraih tas berwarna hitam berisi banyak buku-buku dan juga perlengkapan lainnya, berjalan melewati lorong-lorong itu dengan langkah pelan-pelan sambil melihat ke arah kanan di mana bunga-bunga dibaris dengan pot yang kelihatannya rapi dan indah jika dipandang lewat pantulan cahaya lampu.
Di ujung jalan dekat panggung itu, ada sejumlah orang yang melewatinya dengan menggunakan senter di tangan. Aku berjalan menaiki tangga panjang sambil memegang trell berwarna putih itu dengan penuh keyakinan. Aku lalu memasuki aula itu, sambil melihat kursi-kursi yang berjejeran rapi yang sudah ada orang menempatinya. Aku lalu mengambil tempat di depan.
Ibadat malam itu berjalan dengan baik. Ketika hendak menutup doa malam itu, jantungku berdegup kencang. Aku berusaha untuk menahannya namun usaha itu sia-sia saja. Aku mengatur posisi dudukku, memejamkan mata lalu berusaha mengingat sesuatu, sambil bertanya dalam hati "Tanggal berapakah hari ini?" Kata-kata itu aku ulangi sampai lima, enam kali.
Aku berusaha untuk mengingatnya namun belum juga menemukan jawabannya. Aku semakin ketakutan, sebenarnya apa yang akan terjadi dalam diriku? Jika baik syukur puji Tuhan, kalau buruk pun tidak apa-apa. Aku berusaha menguatkan diri sendiri tanpa orang lain tahu. Perlahan ingatan itu datang.
Sesosok laki-laki yang aku ingat dengan kulitnya yang putih, rambutnya yang air senyumnya yang manis, celana berwarna hitam, jam tangan yang melingkar di tangannya berbaju putih dan juga sendal Kidroc yang dikenakan pada kakinya. Dia adalah sosok yang aku jumpai pertama di gedung almamater berwarna biru itu.
Tanpa sadar kami telah menjadi dua sejoli yang sangat dekat, menjadi sahabat, teman curhat, bahkan menjadi dua orang yang saling menyukai dan membutuhkan. Tidak peduli tentang apa yang ada selalu berusaha untuk terus menjalani suka-duka bersama, berbagai cobaan kami lalui dengan kasih hingga tumbuh cinta yang begitu dalam di antara kami. Dua tahun lamanya kami menjalani kebersamaan itu.
Hari itu tanggal 18 bulan Maret tepatnya pada hari ini. Kisah itu telah berlalu sejak 7 tahun yang lalu. Segala hal tentangnya mulai aku ingat satu persatu. Tak sedikit pun kisah yang aku lewati dalam ingatanku. Dia adalah sosok yang pernah aku benci bahkan menjadikannya sebagai musuh, perlahan rasa benciku padanya makin menghilang dan timbul rasa kagum, rasa suka, dan mulai berdamai dan berusaha untuk berteman. Tetapi dengan berjalannya waktu kedekatan kami sebagai sahabat, kini bukan sahabat biasa, namun sahabat yang melebihi yaitu bersama-sama memutuskan untuk menjalin hubungan lebih dari seorang sahabat.
Aku yang setiap hari harus mendapat ocehan marah, sindiran, fitnahan dan kata-kata yang menurutku itu sakit sekali, kini beralih, masalah itupun mengaitkan kedua orang tuaku, keadaan makin hari makin sulit, aku berusaha untuk menjauhinya namun sosok laki-laki itu dengan sekuat tenaga berusaha meyakinkanku kalau semua akan baik-baik saja. Jujur aku kuat jika berada di sampingnya.
Kisah itu terus mengikutiku hingga sampai pada suatu saat, jarak memisahkan hubungan itu membuat perasaannya semakin hilang, keadaan kami membuatnya melakukan sebuah kesalahan. Cobaan itu datang dan merusak segalanya. Tepatnya pada bulan Mei 2019. Bulan itu adalah bulan yang sangat-sangat menyakitkan. Aku dipaksa untuk melepaskan semuanya. Sosok itu hilang begitu saja, tanpa alasannya apapun, aku makin bingung.
Tidak ada cara lain selain berdiam diri dan menikmati kesendirianku. Hari pertama, minggu pertama, bulan pertama juga tahun pertama sungguh sangat sulit bagiku untuk melupakan sosok yang pergi tanpa alasan yang sudah menjajikan seribu alasan untuk tetap bersamaku. Dia hilang bersama kisahnya.
Segala kisah dan cerita, baik, buruk datang menghampiriku, seakan-akan berusaha memisahkan aku dengannya. Karena menganggap aku terlahir dari keluarga yang serba kekurangan dibandingkan dengan keluarganya yang serba ada, omongan orang makin terdengar di telinga orang tuaku. Sebagai orang yang mau melindungi anaknya, sejak saat itu masalah bukan saja antara aku dengan keluarganya yaitu ibu dan ayahnya, tetapi juga dengan keluargaku yang tidak setuju bila direndah-rendahkan karena tidak punya apa-apa.
Tuhan berjalan bersamaku, segala niat baik dan refleksi membuatku untuk berubah dan berusaha untuk memperbaikinya kembali serta berjuang untuk membuktikan kepada keluarganya bahwa aku dan keluargaku bisa.
Pengkhianatan, kekecewaan, kesedihan, air mata tercampur menjadi satu. Aku terisak merenungi hari di mana aku dikhianati, bagaimana mungkin! Tujuan, harapan, kebahagiaan itu hilang setelah kejadiannya. Sosok itu seperti datang untuk membuatku runtuh. Kini sosok yang selalu kubanggakan itu pun menghilang ditelan bumi, tak terdengar kabar sedikitpun darinya.
Hingga 11 Oktober 2023 lalu kami kembali berkabar dengan situasi dan keadaan yang sudah berbeda. Aku berusaha untuk mendukungnya dalam proses serta perjuangannya. "Jangan pernah menyerah, segala yang terjadi serahkan semua pada Tuhan, yakinlah semua akan baik-baik saja." Itu adalah pesan singkat terakhir yang ia kirimkan lewat Whatsapp.
Aku sama sekali tidak membenci sosok itu, aku mencoba berdamai dengan kenangannya, lalu tidak akan terhenti olehnya. Aku akan terus berjalan, apapun itu hari kemarin adalah kenangan serta pelajaran yang baik.
Oleh: Marcella Ceunfin