Aku masih kecil dan Wendy sudah lebih tua dariku ketika kami berjumpa untuk kedua kalinya di Jogyakarta. Wendi adalah sepupuku anak dari Bu Tiwi saudari bibi Umy. Wendy punya seorang adik perempuan namanya Endang. Endang sama umur denganku walaupun fisik endang nampak lebih berotot. Endang sementara menempuh kuliahnya di Universitas Brawijaya (UB).
Rumah bibi Tiwi beralamat di Ngawen, yang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kecamatan ini berjarak 22 km dari Wonosari, ibukota Kabupaten Gunungkidul ke arah Utara Karangmojo.
Pertemuan bibi Tiwi dan paman berawal ketika keduanya sama-sama merantau di Samarinda. Perkenalkan keduanya saat itu berlanjut hingga membawa mereka sampai di puncak pelaminan. Paman dan bibi baru pindah ke Ngawen saat Wendy anak pertama mereka berusia dua tahun.
Aku merasa sangat bahagia dan enjoy tiga hari boleh menikmati liburan di Ngawen desa tempat tinggal paman dan bibi Tiwi ini. Di sini aku masih dapat melihat paman membajak dengan sistem tradisional. Aku dapat mengenang kembali masa kecilku saat bermain di petak-petak sawah bersama abangku menemani ayah membajak. Keluarga pamanku ini masih tetap melestarikan budaya asli Jawa di desa.
Perabot-perabot dalam rumah, hingga dapur masih sangat dijaga seperti kursi, meja dari rotan atau ukiran-ukiran bermotif. Perabot masak dan tempat-tempat untuk menyajikan makanan dan minuman pun tak ada bedanya. Aku biasanya lebih suka makan bareng di tampan rotan bersama Wendi dan Endang. Kebiasaan ini sudah tak asing lagi dan sering kami anak-cucu lakukan untuk tidak melupakan budaya di rumah eyang kalau ada hajatan bersama keluarga. Pokoknya aku sangat bahagia.
Dari Ngawen kembali ke Jogyakarta....
Pipiku basah berlinang air mata saat menyalami paman, bibi Tiwi, Wendy
dan Endang ketika akan meninggalkan rumah mereka. Walaupun mereka akan
menghantarku kembali ke rumah eyang di
Jogyakarta untuk nantinya pulang ke Bandung, namun aku seperti sulit melupakan
kenangan tiga hari di sini.
Tak seperti biasanya, Wendy bermuram durja. Senyumnya yang selalu
menyerupai kembang tiba-tiba padam mendadak
tak karuan, seakan ia sedang kehilangan sesuatu. Aku sangat mengerti
perasaannya. Tak ada kata terucap dari bibirnya. Kesedihan seperti menguap di ubun-ubunnya.
Endang tak kelihatan lagi batang hidungnya sejak selesai mandi. Dari lantai
atas aku dapat mendengar isak tangisnya dari balik jendela kamarnya yang
terbuka lebar. Sedangkan burung nuri di depan emperan tak bersiul sama sekali
pagi ini. Mungkinkah ia mengerti akan situasi yang tengah terjadi saat ini? entahlah.
Aku terdiam dalam pikiranku sendiri. Sulit, namun aku harus tetap
pergi. Tak ada alasan lain lagi bagiku untuk tetap tinggal di sini. Aku
berjanji pada Wendy dan Endang untuk kembali berlibur lagi di sini, dan
tentunya sedikit memberikan harapan pada keduanya bahwa aku pasti akan datang
bersama Angelo di musim panas tahun depan. Oh akankah semuanya ini dapat terjadi?
Sekali lagi aku belum bisa memastikannya. Aku hanya berharap mimpiku semalam bisa
jadi kenyataan.
Rangsel beruangku sudah paman naikkan ke jok mobil bagian belakang, lengkap
dengan ole-ole jamu buatan bibi dan beberapa kresek berisi buah-buahan dari
kebun sendiri. Kami berkumpul di bilik makan untuk sarapan bersama.
Aku melihat wajah bulat Endang yang kemerahan dengan hidung mancungnya
yang sedikit lembab karena menangis. Kali ini Wendi duduk sedikit lebih jarak
dariku tidak seperti kemarin-kemarin. Aku tahu bahwa mereka masih ingin aku ada
di sini, tetapi aku tak bisa berlama-lama mengingat ibu yang sibuk mengurus rumah dan lebih harus memperhatikan
ayah dengan agenda kerjanya yang padat. Kami menyelesaikan sarapan pagi ini
dengan suasana yang lumayan lebih tenang dan tertib tanpa ada gaduh dari ulah
Wendi dan Endang yang suka berkelakar seperti biasanya.
Bibi Tiwi kembali sibuk di dapur menyiapkan bekal perjalanan siang hari
ini. Paman masih ke belakang untuk memastikan kandang ayam dan merpati sudah
dibuka, sedangkan Wendy sudah memanaskan mobil di halaman depan. Endang dan aku
membantu bibi membereskan bilik makan dan mengaturnya lebih rapih seperti
semula. Akhirnya semua pekerjaan rumah sudah beres, kataku penuh rasa puas.
Aku ingin hidup mendaki puncak tantangan, menerjang batu-batu granit
kesulitan, menggoda marabahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Adalah sebuah prinsip hidup novelis Andrea Hirata dalam novelnya yang
tajam dan menggigit. Andrea Hirata kau punya komitmen hidup yang keras, dan
yang pasti bahwa kau tak pernah menyerah dalam pencarian dirimu. Syair indah
ini seolah menjadi ritme bagiku untuk tetap tegar dengan pendirianku. Mendaki
puncak tantangan dan menerjang batu granit kesulitan adalah sebuah pernyataan
yang harus kugapai dengan sebuah tekat yang gigih penuh perjuangan.
Aku seakan terhipnotis dengan pesona yang pernah menggetarkan jiwaku sepanjang
perjalanan dari Bandung ke Jogyakarta. Aku lupa dengan suara mesin dan riuh
ramai setiap penumpang. Aku hanya menghapal dengan baik shymponi lagu Kereta
tiba pukul berapa gubahan Iwan Fals itu.
Getaran-getaran mengguncang dinding-dinding
labirin hatiku sebagai seorang perempuan waras dan tentunya tidak amnesia. Ini
sedikit membuat nadiku seakan berhenti berdetak, namun aku masih dapat mengontrolnya.
Aku tiba lagi di Jogyakarta dalam keadaan sehat. Tentunya dengan
berbagai macam perasaan di hati. Kususul lagi eyang di kursi rodanya. Perempuan
tua itu sedang menghitung manik-manik rosarionya dan sesekali aku melihat
bibirnya komat-kamit mendaraskan doa Rosario yang sudah menjadi doa tikaman
baginya setiap hari. Kubenamkan wajahku dalam-dalam di dadanya. Tangisku pecah
disusul dengan kata-kata yang hampir tak kedengaran. Aku kira aku sedang
mendaraskan mantra tetapi bukan.
Aku dapat merasakan jemari
eyangku yang lemah namun pasti membelai rambutku dengan pelan. Eyang tahu
tentang apa yang sedang kuperjuangkan selama tiga tahun belakangan ini. Aku
pernah membisikkan sesuatu di kupingnya ketika ayah menjemput eyang datang ke Bandung.
Aku masih ingin berlama dengannya di Jogyakarta namun waktu tak mengijinkanku
lagi. Akuharus secepatnya pulang ke Bandung.
Eyang, maafkan aku ya. Celine tak dapat berlama-lama di sini. Celine
harus pulang ke Bandung. Semoga tahun depan Celine masih bisa datang lagi ya.
Eyang, doakan Celine ya biar terkabul apa yang Celine harapkan seperti yang
pernah Celine bilang ke Eyang ya.
Satu-persatu kusalami familiku. Kulihat wajah mereka yang teduh seakan tak
tega melepaskanku. Hujan air mata kembali mengguyuri siang yang panas terik.
Perlahan-lahan kuayunkan lagi langkahku
menuju mobil dan segera berangkat ke stasiun. Perjalanan siang hari ini tampak
kaku, tidak seperti situasi keberangkatanku dari Bandung ke Jogjakarta minggu
kemarin. Aku ditemani paman, bibi Umy dan kedua sepupuku.
Perjalanan dari rumah eyang rasanya amat jauh dan panjang bagiku hari
ini, padahal jarak tempuhnya tak seberapa. Kali ini tak ada banyak perbincangan
yang terjadi dalam mobil karena aku sendiri sudah mabuk kepayang. Perutku mulas
dan membuat kepalaku rasanya berputar-putar seperti gasing yang sedang menari. Untunglah.
Pandanganku terasa kabur. Untung saja aku tak kehilangan kendali.
Tiba di stasiun...
Satu per satu paman, bibi Umy dan sepupu-sepupuku mulai tak kelihatan lagi dari pandanganku. Aku hanya melihat lambaian-lambaian tangan para penghantar penumpang yang mungkin mengharapkan kereta tak secepatnya. BERSAMBUNG.......
Oleh: Lena Salu