• Hari ini: December 23, 2024

MALAM JUMAT YANG PANJANG (4)

23 December, 2024
530


    Aku masih kecil dan Wendy sudah lebih tua dariku ketika kami berjumpa untuk kedua kalinya di Jogyakarta. Wendi adalah sepupuku anak dari Bu Tiwi saudari bibi Umy. Wendy punya seorang adik perempuan namanya Endang. Endang sama umur denganku walaupun fisik endang nampak lebih berotot. Endang sementara menempuh kuliahnya di Universitas Brawijaya (UB).

    Rumah bibi Tiwi beralamat di Ngawen, yang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kecamatan ini berjarak 22 km dari Wonosari, ibukota Kabupaten Gunungkidul ke arah Utara Karangmojo.

    Pertemuan bibi Tiwi dan paman berawal ketika keduanya sama-sama merantau di Samarinda. Perkenalkan keduanya saat itu berlanjut hingga membawa mereka sampai di puncak pelaminan. Paman dan bibi baru pindah ke Ngawen saat Wendy anak pertama mereka berusia  dua tahun.

    Aku merasa sangat bahagia dan enjoy tiga hari boleh menikmati liburan di Ngawen desa tempat tinggal paman dan bibi Tiwi ini. Di sini aku masih dapat melihat paman membajak dengan sistem tradisional. Aku dapat mengenang kembali masa kecilku saat bermain di petak-petak sawah bersama abangku menemani ayah membajak.  Keluarga pamanku ini masih tetap melestarikan budaya asli Jawa di desa.

    Perabot-perabot dalam rumah, hingga dapur masih sangat dijaga seperti kursi, meja dari rotan atau ukiran-ukiran bermotif. Perabot masak dan tempat-tempat untuk menyajikan makanan dan minuman pun tak ada bedanya. Aku biasanya lebih suka makan bareng di tampan rotan bersama Wendi dan Endang. Kebiasaan ini sudah tak asing lagi dan sering kami anak-cucu lakukan untuk tidak melupakan budaya di rumah eyang kalau ada hajatan bersama keluarga. Pokoknya aku sangat bahagia.

    Dari Ngawen kembali ke Jogyakarta....

    Pipiku basah berlinang air mata saat menyalami paman, bibi Tiwi, Wendy dan Endang ketika akan meninggalkan rumah mereka. Walaupun mereka akan menghantarku kembali ke rumah eyang di Jogyakarta untuk nantinya pulang ke Bandung, namun aku seperti sulit melupakan kenangan tiga hari di sini.

    Tak seperti biasanya, Wendy bermuram durja. Senyumnya yang selalu menyerupai kembang tiba-tiba padam mendadak tak karuan, seakan ia sedang kehilangan sesuatu. Aku sangat mengerti perasaannya. Tak ada kata terucap dari bibirnya. Kesedihan seperti menguap di ubun-ubunnya. Endang tak kelihatan lagi batang hidungnya sejak selesai mandi. Dari lantai atas aku dapat mendengar isak tangisnya dari balik jendela kamarnya yang terbuka lebar. Sedangkan burung nuri di depan emperan tak bersiul sama sekali pagi ini. Mungkinkah ia mengerti akan situasi yang tengah terjadi saat ini? entahlah.

    Aku terdiam dalam pikiranku sendiri. Sulit, namun aku harus tetap pergi. Tak ada alasan lain lagi bagiku untuk tetap tinggal di sini. Aku berjanji pada Wendy dan Endang untuk kembali berlibur lagi di sini, dan tentunya sedikit memberikan harapan pada keduanya bahwa aku pasti akan datang bersama Angelo di musim panas tahun depan. Oh akankah semuanya ini dapat terjadi? Sekali lagi aku belum bisa memastikannya. Aku hanya berharap mimpiku semalam bisa jadi kenyataan.

    Rangsel beruangku sudah paman naikkan ke jok mobil bagian belakang, lengkap dengan ole-ole jamu buatan bibi dan beberapa kresek berisi buah-buahan dari kebun sendiri. Kami berkumpul di bilik makan untuk sarapan bersama.

    Aku melihat wajah bulat Endang yang kemerahan dengan hidung mancungnya yang sedikit lembab karena menangis. Kali ini Wendi duduk sedikit lebih jarak dariku tidak seperti kemarin-kemarin. Aku tahu bahwa mereka masih ingin aku ada di sini, tetapi aku tak bisa berlama-lama mengingat ibu yang sibuk mengurus rumah dan lebih harus memperhatikan ayah dengan agenda kerjanya yang padat. Kami menyelesaikan sarapan pagi ini dengan suasana yang lumayan lebih tenang dan tertib tanpa ada gaduh dari ulah Wendi dan Endang yang suka berkelakar seperti biasanya.

    Bibi Tiwi kembali sibuk di dapur menyiapkan bekal perjalanan siang hari ini. Paman masih ke belakang untuk memastikan kandang ayam dan merpati sudah dibuka, sedangkan Wendy sudah memanaskan mobil di halaman depan. Endang dan aku membantu bibi membereskan bilik makan dan mengaturnya lebih rapih seperti semula. Akhirnya semua pekerjaan rumah sudah beres, kataku penuh rasa puas.

    Aku ingin hidup mendaki puncak tantangan, menerjang batu-batu granit kesulitan, menggoda marabahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Adalah sebuah prinsip hidup novelis Andrea Hirata dalam novelnya yang tajam dan menggigit. Andrea Hirata kau punya komitmen hidup yang keras, dan yang pasti bahwa kau tak pernah menyerah dalam pencarian dirimu. Syair indah ini seolah menjadi ritme bagiku untuk tetap tegar dengan pendirianku. Mendaki puncak tantangan dan menerjang batu granit kesulitan adalah sebuah pernyataan yang harus kugapai dengan sebuah tekat yang gigih penuh perjuangan.

    Aku seakan terhipnotis dengan pesona yang pernah menggetarkan jiwaku sepanjang perjalanan dari Bandung ke Jogyakarta. Aku lupa dengan suara mesin dan riuh ramai setiap penumpang. Aku hanya menghapal dengan baik shymponi lagu Kereta tiba pukul berapa gubahan Iwan Fals itu.

  Getaran-getaran mengguncang dinding-dinding labirin hatiku sebagai seorang perempuan waras dan tentunya tidak amnesia. Ini sedikit membuat nadiku seakan berhenti berdetak, namun aku masih dapat mengontrolnya.

    Aku tiba lagi di Jogyakarta dalam keadaan sehat. Tentunya dengan berbagai macam perasaan di hati. Kususul lagi eyang di kursi rodanya. Perempuan tua itu sedang menghitung manik-manik rosarionya dan sesekali aku melihat bibirnya komat-kamit mendaraskan doa Rosario yang sudah menjadi doa tikaman baginya setiap hari. Kubenamkan wajahku dalam-dalam di dadanya. Tangisku pecah disusul dengan kata-kata yang hampir tak kedengaran. Aku kira aku sedang mendaraskan mantra tetapi bukan.

  Aku dapat merasakan jemari eyangku yang lemah namun pasti membelai rambutku dengan pelan. Eyang tahu tentang apa yang sedang kuperjuangkan selama tiga tahun belakangan ini. Aku pernah membisikkan sesuatu di kupingnya ketika ayah menjemput eyang datang ke Bandung. Aku masih ingin berlama dengannya di Jogyakarta namun waktu tak mengijinkanku lagi. Akuharus secepatnya pulang ke Bandung.

    Eyang, maafkan aku ya. Celine tak dapat berlama-lama di sini. Celine harus pulang ke Bandung. Semoga tahun depan Celine masih bisa datang lagi ya. Eyang, doakan Celine ya biar terkabul apa yang Celine harapkan seperti yang pernah Celine bilang ke Eyang ya.

    Satu-persatu kusalami familiku. Kulihat wajah mereka yang teduh seakan tak tega melepaskanku. Hujan air mata kembali mengguyuri siang yang panas terik.

     Perlahan-lahan kuayunkan lagi langkahku menuju mobil dan segera berangkat ke stasiun. Perjalanan siang hari ini tampak kaku, tidak seperti situasi keberangkatanku dari Bandung ke Jogjakarta minggu kemarin. Aku ditemani paman, bibi Umy dan kedua sepupuku.

  Perjalanan dari rumah eyang rasanya amat jauh dan panjang bagiku hari ini, padahal jarak tempuhnya tak seberapa. Kali ini tak ada banyak perbincangan yang terjadi dalam mobil karena aku sendiri sudah mabuk kepayang. Perutku mulas dan membuat kepalaku rasanya berputar-putar seperti gasing yang sedang menari. Untunglah. Pandanganku terasa kabur. Untung saja aku tak kehilangan kendali.

    Tiba di stasiun...

    Satu per satu paman, bibi Umy dan sepupu-sepupuku mulai tak kelihatan lagi dari pandanganku. Aku hanya melihat lambaian-lambaian tangan para penghantar penumpang yang mungkin mengharapkan kereta tak secepatnya. BERSAMBUNG.......

Oleh: Lena Salu