MALAM JUMAT YANG PANJANG (2)
Rupanya tak ada yang lebih aneh selain orang yang sedang dimabuk asmara. Apa yang ada dalam pandangannya saat itu semuanya akan tampak baik dan beraroma kembang mawar alias parfum penyegar hati yang gunda.
Tak pernah Kusaksikan Tamara dan Gilang seakrab malam ini. Mereka terlihat lebih teduh dan dewasa, tidak seperti sebelum-sebelumnya. Wajah Gilang yang datar serasi dengan jas hitam dan dasi coklat yang dipakainya. Sepatu kulitnya tampak lebih mengkilat dan bisa kutebak harga dan kualitasnya. Tak salah kalau ia memenangkan hatinya Tamara. Bagiku Gilang lebih terlihat dewasa berbeda dari penampilannya setiap hari. Akankah Gilang sedang menyusun taktik atau sedang memoles skenarionya, entahlah aku pun belum bisa menebak isi kepalanya.
Begitupun hal yang sama dengan
Tamara. Perempuan berambut pirang ini begitu memukau diriku. Dres Biru mudah
yang membalut tubuh mungilnya yang sedikit menyerupai gitar Spanyol sungguh
membuatnya terlihat sempurna. Senyuman khasnya yang selalu segar menjadi
saingan sahabat-sahabatnya, seakan itu akan menjadi sebuah saingan dalam dunia
model ternama yang memang harus dimenangkan. Walaupun begitu, Tamara tak pernah
memastikan kepada mereka tentang rahasia itu.
Aneh bagiku, semakin banyak Tamara dikejar semakin Tamara teduh
menanggapinya dengan ramah. Sudah pasti dan tak kuragukan bagi lelaki-lelaki
berhidung belang yang sejak tadi mengawasinya dengan siulan nakal dari sudut
panggung bioskop. Tamara selalu
memenangkan hatinya sendiri. Tamara tak pernah memakai topeng tuk mengatakan
siapa dirinya saat ini. Sudah barang tentu ini terus menjadi incaran mereka
yang terus membuntutinya. Tamara, seandainya dapat biarkan teater yang sedang kita
tonton ini bisa diputar sekali lagi hingga pagi menjumpai kita yang sedang
mabuk kepayang di ruangan besar ini karena kantuk yang tak ada kompromi.
Tamara dan Gilang malam ini memenangkan segalanya. Pertemuan mereka
kali ini seakan mendobrak jiwaku. Seperti ada sesuatu yang kucari di sini
namun belum juga kujumpai. Aku membiarkan keduanya bebas ngobrol dengan topiknya
masing-masing. Aku dapat membaca perasaan bahagia mereka dari air muka
keduanya.
Agar tak menjadi penjaga nyamuk
yang setia, aku nekat beranjak dari tempat dudukku dan berjalan pelan melewati
setiap kaki yang menyilang di antara lorong-lorong kursi. Aku menyelip lincah memutar
haluan yang berbeda. Gerak-gerikku tentu tak kalah juga dari seorang intel yang
siap menggembok mangsanya yang brutal.
Kali ini aku mengambil jalur lain, tak melewati tangga lift namun memilih
tangga laseref di lantai paling bawah dan berjalan terus ke arah parkiran.
Gabut sempat menghinggapi pikiranku. Ruangan paling bawah tampak gelap. Banyak
sarang laba-laba mencoreng wajahku tapi tak kupedulikan. Aku terus berjalan
dengan sesekali mengawasi di sekelilingku untuk memastikan bahwa situasinya aman.
Sementara melangkah, tiba-tiba
saja langkahku terhenti tepat di depan sebuah taman kecil. Seperti ada sesuatu
yang membuatku merinding. Tak ada siapa -siapa di sana kecuali diriku sendiri.
Suara itu sepertinya kukenal tetapi belum bisa kutebak. Kuusap peluh yang mulai
terasa dingin di kening dan leherku yang sedikit membuatku gerah. Langkahku
seakan jadi berat. Aku terpaku beberapa waktu sambil mengingat sesuatu.
Angelo, maafkan aku. Tiba-tiba aku mengucapkan kalimat itu. Bibirku
gementar dan kaku. Air mataku berderai tiada hentinya. Aku jadi ingat akan
tempat ini. Angelo pernah membawaku ke sini untuk menyaksikan film menjelang Natal.
Waktu itu, aku dilanda perasaan menjadi orang yang paling penting bagi
Angelo. Aku dan Angelo berhasil mengambil hati ibu untuk bisa diijinkan nonton
film di bioskop. Kami menghirup suguhan menarik dari setiap akting para pemeran
yang begitu lincah dan jenius melakonkan adegan filmnya.
Aku bingung harus melangkah ke mana lagi. Namun aku masih ingat sebuah tempat yang juga ada tersimpan kenangan indah. Ayo ke depan lagi, bisikku dalam hati. Aku mengikuti kata hatiku dan akhirnya tiba juga. Di dalam taman kecil itu ada sebuah bangku tua yang terbuat dari kayu penuh ukiran bermotif Bali. Di situlah dulu Angelo dan aku mengajak ibunya menikmati soto ayam kesukaan ibunya. Di sudut bangku itu aku masih menemukan nama Angelo dan diriku yang ditulis olehnya. “Angelo si buncit, Celine si tukang sebel.“ Ada sedikit perasaan aneh, lucu, sedih, bahagia setelah membacanya namun ada juga perasaan lain yang mengganjal di hatiku. Ngilu terasa di hatiku.
Aku menangis dalam diamku
tanpa menghiraukan lagi para pedagang kaki lima yang sedang memperhatikanku
sejak tadi. Aku masih sangat ingat baik hari itu juga adalah hari terakhir
Angelo dan aku bertemu dengan ibunya. Dada ini terasa sesak dan seakan akan
pecah. Aku berusaha menahan isakku yang semakin menjadi-jadi. Aku sangat ingat bu Asih yang selalu ada menemani Angelo dan diriku saat makan bareng di malam
Jumat.
Bu, aku rindu menemuimu. Temui aku sekarang Bu. Tunjukkan wajahmu
padaku bu. Angelo tak ada di sini. Ibu juga tak ada. Aku ingin menemuimu
berdua bu. Suaraku semakin melengking hingga aku tak sadar kalau Gilang dan
Tamara sudah ada di sampingku sejak tadi. Kupeluk Tamara dengan erat,
membiarkan diriku kembali tenang dalam rangkulannya. Ada harap yang masih ingin
kuperjuangkan. Aku masih ingin melihat wajah Angelo dan ibunya yang sudah
jarang kutemui. Aku memutuskan Gilang menghantarku untuk segera pulang tidur dengan
Tamara di rumahku.
Bu, aku sangat merindukanmu. Temui aku di malam jumat yang akan
datang ya bu. Aku ingin memberitahukannya sesuatu.
BERSAMBUNG......
By: Lena Salu