MALAM JUMAT YANG PANJANG (1)
Dingin malam Jumat kali ini menusuk menembus pori-pori kulit dan seakan meremukkan tulang-tulang sendiku. Bibirku pucat
pasi, tarikan nafasku pun sedikit terengah, sedang kakiku gementar kaku tak kuat
menopang tubuhku yang sudah lelah. Lampu belajarku sudah kumatikan, alarm pun
sudah kusetel untuk besok pagi. Dari balik tirai kamarku selayang pandang aku
memandang jauh ke arah jalan berkelok di depan sana. Suasananya sepih lengah. Satu
per satu kusaksikan kilauan sorot lampu jalan yang mulai redup bahkan sudah
padam. Dari bilik kamarku kini aku hanya dapat menangkap bayangan-bayangan
hitam pohon delima yang sedang berayun lamban melambai-lambai seperti wanita
yang sedang meliuk-liuk di atas panggung wayang. Paduan suara kodok di kolam
dan jangkrik yang kerap kudengar setiap malam dari arah taman krisan seakan sedang kantuk berat dan berbisik pelan hampir
tak kedengaran lagi. Mungkinkah semuanya sudah tertidur pulas?
Ahhh, aku termangu dalam lamunanku yang melantur dan mengoceh pikiranku, aku tak dapat segera tidur lagi. Aku kembali duduk sambil rebahan di sofa, mematuk-matuk cangkir tua bermerek Cina yang masih ada sisa kopi sejak sore tadi. Kuteguk dan menyerut beberapa kali sampai benar-benar merasakan nikmatnya di ujung lidahku. Mataku membelalak tak kunjung terkatup. Entah mengapa malam ini terasa amat lain dan panjang.
Aku memutuskan ke dapur untuk mengambil beberapa camilan dari toples
ungu tua lalu kembali santai rebahan di sofa ruang tengah. Radio FM kesayanganku
yang kudapat dari kakekku hidupkan lagi bahkan lebih kuat kuputar volumenya,
menyebabkan dentuman yang keras dan makin mengguncang dinding-dinding kamarku. Ahh...aku
mengangguk dan sesekali menggerakkan tangan dan pinggulku mengikuti irama musik
wals kesukaan ayah dan ibuku sejak dulu kala. Aku bukan tipe penikmat lagu-lagu
tempo dulu, namun sering aku menikmatinya di saat sedang dirundung galau. Lagu-lagu
gubahan seperti Titiek Sandora, Iwan fals, Mariam Belina hingga karya
komposer-komposer musik klasik yang pupuler akan kunikmati laksanakan obat
penenang tidur yang paling baik dan berharga untukku.
Untukmu yang terkasih Celine..... adalah sepenggal kalimat yang masih terngiang-ngiang
dan mengusikku hingga jarum jam menunjukkan pukul 24.15. Kalimat itulah yang
masih kuingat setiap kali kau mengirimiku surat atau hadiah kecil di setiap
hari ulang tahunku. Kartu-kartu kecilmu selalu menarik dan memberikan kejutan
yang menyenangkan hatiku saat membacanya satu persatu.
Sejak kepergian Angelo ke Jogja jarang mendapat kabar darinya. Aku sekali
mendapatkan balasan via WA itupun mungkin semingguan sekali. Perasaan gelisah,
cemas kadangkala menggangguku untuk berkonsep yang tidak-tidak tentang keadaan
Angelo. Sedang apakah ia, dengan siapa dirinya saat ini tentu tidak lazim lagi
bagiku.
Waktu terus berganti Angelo tak pernah menelfon atau menyuratiku lagi lewat Email nya. Bunyi deringan telefon lambat laun mulai jarang kudengar hingga aku sendiri hampir tak pernah melihat Angelo aktif
dan follow di akun Facebook dan Instagramku. Aku tak tahu selanjutnya akan
seperti apa hubungan kami ini. Hari-hariku terasa penuh dengan teka-teki yang
belum pasti.
Seminggu setelah pulang dari rumah tantanya di Salatiga aku mendapat
kabar dari Tamara adiknya Angelo bahwa Angelo sedang mengikuti pertukaran
mahasiswa di Australia. Seperti disambar petir, muncul sederet pertanyaan di
kepalaku, mengapa Angelo tak pernah memberitahukanku tentang hal ini? Bahkan mengapa Angelo tak meninggalkan pesan apapun untuk diriku. Mendengar penjelasan Tamara
ini aku hanya bisa menunduk dan menarik nafas dalam-dalam menahan hujan air mata yang
perlahan mulai membasahi kelopak mataku. Angelo, mengapa setega itu kau lakukan ini
untukku. Tak mengertikah dirimu akan aku yang selalu berharap bahwa kau akan
tetap menghubungiku kapan saja dan di mana saja kita berada. Hari ini
kegelisahanku seakan bertambah membuatku terus memikirkanmu. Semoga kau baik–baik saja seperti aku di sini.
Angelo kapankah kau akan kembali lagi ke sini.... Surat-surat yang kau
selipkan dalam buku yang kau pinjamkan untukku bulan yang lalu masih tersimpan
rapi dan tak ada satupun yang tercecer dan hilang. Aku sering membacanya di saat
aku sedang merindukanmu. Aku berharap musim panas yang akan datang
mengijinkanmu untuk berlibur ke Indonesia. Aku mungkin tak akan pernah melihat
rupamu lagi sebab akan asing bagiku bila kau berubah haluan dariku. Semoga saja
aku salah menilaimu seperti saat ini.
BERSAMBUNG..........
By: Lena Salu