• Hari ini: December 22, 2024

MALAM JUMAT YANG PANJANG (3)

22 December, 2024
573

MALAM JUMAT YANG PANJANG (3)

    Aku terus melirik jarum jam tanganku yang seakan berputar terbalik. Meskipun mahal dan bermerek Alexandre Christie namun terasa detakannya begitu lambat bagiku pagi ini. Aku seperti tak sabar lagi membuatku terkesan panik. Tapi tetap saja aku tak dapat menyalahkan jam tanganku. Malah ia yang selalu setia dan sabar mengingatkanku selama 24 jam. Aku masih tetap mengandalkannya.

    Sudah hampir sejam aku menunggu kereta api di Stasiun Bandung atau yang biasa lebih dikenal dengan nama Stasiun Hall. Stasiun tipe A ini berlokasi di Jalan Stasiun Barat Kebon Jeruk, Andir Kota Bandung. Namun penantian itu serasa tak kunjung datang. Waktu seakan tak pedulikanku yang sejak tadi hampir mati lemas karena suara manusia-manusia di sekitarku dan bunyi bising kendaraan yang hilir-mudik.

    Untuk menghilangkan rasa jenuhku, aku membaca novel Tetralogi Buru.  Sebuah seri dengan judul Rumah Kaca, karya sastrawan Indonesia yang sangat kusukai yaitu Pramoedya Ananta Toer nampak menggodaku. Seri novel Rumah Kaca yang merupakan fiksi sejarah tentang politik di negeri Hindia-Belanda yang sudah kubaca berulangkali ini seperti sedang menggiringku perlahan masuk dengan tertib dalam situasi yang diceritakan di negeri Hindia-Belanda saat itu. Alur dan gaya bahasanya yang menarik dan luwes membuatku selalu lapar tuk melahapnya di kala sedang santai di rumah atau weekend.

    Pramoedya, kapan aku bisa sepertimu. Pertanyaan konyol ini berhasil memukauku untuk sedetik memujimu sebentar walau aku hanya sebatas penikmat karyamu yang laris manis di seantero bumi Pertiwi hingga mancanegara.  Butuh waktu seribu tahun bagiku tuk dapat menulis tentang duniaku sepertimu. Kau tak pernah mundur dari segala kecaman kritik yang kritis dari setiap  penggemarmu yang mencintaimu. Kau selalu menyajikan yang terbaik bagi siapapun tanpa harus mereka merasa menyesal.

    Ku sudahi bacaanku dengan satu perasaan puas dan ekspresi senyum yang polos tanpa malu pada seorang bocah bertelanjangkan dada yang menawarkan koran jualannya pada setiap mereka yang ada termasuk diriku. Tanpa pikir panjang aku langsung membeli beberapa eksemplar dengan melebihkan sedikit rupiah pada kotak jualannya. Aku lalu aku menyisipkan koran-koran itu ke dalam tas tanganku.

    Aku masih menaruh rasa bangga pada Pramoedya dan juga pada si bocah kecil yang tanpa sengaja mengalihkan konsentrasiku. Terima kasih bocah kecil, kataku padanya walaupun ia sudah begitu jauh di depan sana. Luar biasa. Aku dapat mengerti bahwa ia harus bergegas wajib menjual habis koran-korannya sampai tuntas sebelum pulang ke rumah. Itulah yang dapat aku tangkap dari bocah-bocah yang selalu kutemui di stasiun, emperan-emperan tokoh  atau di jalan-jalan yang ramai masanya.

    Celine ingin seperti Pramoedya Ananta Toer, bisikku dalam hati sepanjang aku menunggu kereta yang belum datang juga. Tapi akhirnya aku mendehem ringan dan tertawa kecil pada diriku mengingat aku belum buat apa-apa. Butuh perjuangan tuk dapat mewujudkan mimpi itu.

    Tujuan perjalananku hari ini yaitu silaturahmi bersama keluarga besar ayahku di rumah eyang dan pamanku di  Jogyakarta. Hari itu hujan tak kunjung berhenti. Untung saja ibu semalam sudah ingatkanku agar tak lupa menyisipkan jaket bulu domba kesayanganku di rangsel beruangku walaupun kelihatan sedikit kembung dan lebih besar dari ukuran badanku yang kecil. Mungkin karena ibu tahu kondisiku yang sering sakit dan mengingat cuaca yang tidak bersahabat sejak kemarin sore.

    Ruangan tunggu stasiun penuh riuh penumpang yang saling berdesakan. Pemandangannya tak kalah ramainya pasar malam di Jakarta pusat. Aku mengamati dan mengawasi setiap roman satu persatu orang di sekitarku. Wajah-wajah baru yang kulihat itu tampak asing bagiku dan sedikit membuatku gusar dan tak nyaman.

    Bayangan para penyelundup narkoba, komunitas para mafia dan pencopet selalu terbayang di benakku setiap kali aku punya jadwal keluar kota sendirian. Rasanya agak horor kubayangkan. Maklum ayahku pernah jadi korban dari oknum-oknum itu. Ayahku pulang dari Jakarta kembali ke rumah kami di Bandung  tak membawa apapun kecuali pakaian di badannya seperti baru berangkat ke Jakarta. Kejadian waktu itu membuatku shock dan menjadi satu  kecemasan tersendiri bagiku dari kecil hingga aku sudah beranjak lebih dewasa.

    Dengan posisi duduk bersandar di kursi ruang tunggu, kedua lutut kurapatkan untuk mengapit beberapa kresek besar berisi dendeng kesukaan eyang, ketupat, racikan bumbu rendang khas Bandung dan camilan sebagai ole-ole buatan ibu dan Raden abangku. Kupastikan tak membiarkan rangsel beruangku tadi lepas dari punggungku. Rasanya berat dan ribet namun aku harus tetap membawanya sampai ke rumah eyang. Aku tak pernah melihatnya sebagai suatu beban bagi diriku.

    Satu jam kemudian...

    Bunyi mesin kereta mulai kedengaran dari jauh dan akhirnya tiba di stasiun. Pintu kereta sepertinya akan bobol dengan penumpang yang tak pernah menghargai budaya antrian. Namun tak aku salahkan sebab itu hampir sudah menjadi kebiasaan di Indonesia. Tak mungkin aku menggantikan posisi masinis untuk menurunkan mereka yang rewel dan suka menciptakan keributan.

Upppss, aku melompat cepat ke dalam kereta dengan menenteng kresek-kresek di tanganku. Aku melewati mereka mulai dari yang berbadan gemuk kekar, tinggi, hingga yang pendek sepadan denganku. Aku lalu mengambil posisi duduk persis di dekat jendela. Aku menarik nafas lega setelah membetulkan rambutku yang sedikit terurai menutup wajahku yang oval.

    Kereta melaju dengan begitu cepat, membuatku bergoyang-goyang seperti sedang joget. Aroma keringat bercampuran dapat kuhirup, sungguh tak sedap. Dengan memakai headset aku menikmati musik Jawa tanpa terganggu.

    Dari dalam kereta aku membuang pandangan ke luar jendela. Pohon-pohon pinus dan cemara yang menjulang tinggi tampak berbaris rapi di kejauhan. Langit yang tadinya mendung perlahan mulai cerah. Aku dapat melihat awan putih berkejaran di atas langit walaupun sesekali terpele oleh bayangan gedung-gedung pencakar langit.

    Imajinasiku pun tak mau berkompromi. Lirik lagu kereta, gubahan Iwan fals kembali membangunkan jiwaku. Aku terkejut ketika sudah melewati Kota Solo. Batinku makin bergetar kuat. Shal coklat di leher kutarik semakin kencang agar aku tak sampai batuk. Ada cerita indah yang belum sampai kutuntaskan.

    Aku ingat Angelo. Ketika bulan Mei dua tahun yang lalu bersama Pak Raymond, Angelo, Tamara, Key, aku diajak ikut ke Solo untuk menemani Bu Asih yang harus melakukan operasi besar di kepalanya. Sepanjang jalan ke Solo aku temani Bu Asih dengan penuh kasih dan sabar.

    Aku kenal baik Bu Asih. Orangnya tak pernah banyak menuntut, sama juga dengan Pak Raymond namun aku selalu tahu apa yang harus aku buat ketika Bu Asih membutuhkan sesuatu. Mungkin karena sudah kecapaian akulah yang malah tertidur di pundak Bu Asih yang duduk persis di samping kananku, sementara Angelo terus memijat jemari tangan ibunya.

    Waktu itu aku melihat Angelo tak banyak bicara, mungkin juga karena Angelo kepikiran dengan keadaan ibunya. Aku berusaha berdamai dengan situasi itu. Tamara duduk di belakang menemani Key yang masih berumur empat tahun. Memang tak cengeng tetapi Key sering usil. Ahh, anak manis yang satu ini selalu menjadi penghibur bagi kami selama perjalanan hingga sampai tujuan.

    Tanpa terasa sampailah aku di Jogyakarta. Bibi dan sepupu-sepupuku sudah menunggu di stasiun. Kusalami mereka satu persatu dengan perasaan bahagia. Pamanku tampak berlinang air matanya. Aku masih memuji Bibi Umy yang kelihatan masih tetap awet muda dan kencang wajahnya. Aku berpelukan dengan sepupuku Jean, Inka dan  Julio. Ini kali kedua aku datang ke rumah paman di Jogyakarta.

    Aku tak sabar lagi untuk segera menemui eyangku yang pastinya tak sabar juga menantimu. Aku merasa sedikit geli dengan tingkah Jean dan Inka yang langsung berebutan camilan yang aku bawah. Mereka berdua memang begitu denganku, mungkin karena kami sebaya dan tak pernah menutup-nutup ekspresi kami saat berjumpa dan berkumpul bersama.

    Satu setengah jam kemudian.....

    Kupeluk erat eyangku. Yang pastinya eyang selalu berlinang air mata seperti biasanya aku bertemu dengannya. Rambut ubannya semakin banyak dan tak dapat kuhitung lagi dengan jari. Kulit wajahnya yang dulunya halus pun mulai berkerut sampai terlihat garis-garis lipatan di kening, gelembung kantong matanya makin kentara, sedangkan lesung pipinya terlihat semakin dalam menyerupai sumur yang kering tak ada airnya.

    Makan siang hari itu penuh dengan tawa ria seperti liburanku di tahun kemarin. Sore harinya bersama Jean dan Inka, kami bertiga berkunjung ke pusara kakek. Ku taburkan bunga segar di atas pusaranya. Masih tertulis rapi nama kakek di batu nisan walaupun tulisannya mulai terlihat sedikit kabur.

    Kakek, Celine sudah datang. Celine ada bawa salam dari ayah, ibu, dan abang. Ayah tak bisa ikut ke sini karena masih ada tugas lain besok pagi. Ibu juga demikian harus temani ayah.

    Sunset mulai nampak kemerahan di ujung langit barat. Megah pun bertaburan laksana lidah api yang bernyala menambah semarak indah fenomena di akhir hari ini. Sementara Jean dan Inka masih terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat hatiku ngilu terasa. Maafkan aku Jean, Inka, kali ini aku belum siap menjawabmu. Aku hanya berharap bahwa Angelo baik-baik saja di Australia.

    Angelo belum kabarkan padaku tentang keadaannya. Bu Asih dan Pak Raymond pun sudah hampir jarang kuhubungi kecuali Tamara satu-satunya, tapi itupun kecuali pas aku sedang bersamaan dengannya. Selasa kemarin aku masih sempat bertemu dengan Tamara dan Gilang. Pertemuan kami cukup menyenangkan walaupun begitu aku tak banyak menanyakan Angelo padanya. Kapan Angelo akan kembali ke Indonesia, aku belum tahu.

    Jean, Inka dan diriku menyusuri jalan kecil untuk kembali ke rumah. Kami bertiga larut dalam suasana yang dingin. Di sela kesibukan kuliahnya, Angelo sering mendatangi rumah pamanku setiap akhir pekan. Karena itu tak asing lagi bagi Jean, Inka, dan Julio. Mereka juga sudah menganggap Angelo seperti saudara mereka sendiri. Kepergian Angelo ke Australia pun tak mereka ketahui.

    Angelo, seandainya kau ada di sini mungkin saja kita akan lebih banyak bercerita. Yakinkanlah sekali lagi padaku bahwa kau sedang baik-baik saja.

BERSAMBUNG......... 

Oleh: Lena Salu