GERAKAN LITERASI ALA
SMA AMORE PRIME SCHOOL
Ronny Manas, S.Fil
Literasi merupakan
vareabel prima dalam menjaga dan meningkatkan kualitas diri sebagai makhluk
berakal budi terutama dalam dunia pendidikan. Legitimasi tentang pentingnya
literasi mempengaruhi intensi gerakan peningkatan gerakan literasi yang terbaca
sangat masif. Berkaca pada fenomena masif akhir–akhir ini, fakta menceritakan
dengan sangat gamblang betapa narasi peningkatan literasi diri benar–benar menuntut
respon konkrit dari semua orang terlebih para pelaku pendidikan dalam setiap
satuan pendidikan di seluruh pelosok tanah air. Gerakan peningkatan literasi
ini dikemas dalam pelbagai cara baik dari aneka kelompok dan instansi swasta maupun
pemerintah yang dijabarkan dalam gerakan-gerakan literasi di sekolah. Betapa
tidak, kemampuan literasi ternyata merupakan suatu hal penting yang wajib
dimiliki oleh seseorang. UNESCO (The United National Educational, Scientific
and Culture Organization) menggarisbawahi literasi sebagai seperangkat
keterampilan nyata, terutama keterampilan dalam membaca dan menulis yang
terlepas dari konteks yang mana keterampilan itu diperoleh serta siapa yang
memperolehnya. Pada titik ini, hemat saya, literasi pada sisi lain ternyata
mengandung impak invisible bagi para pelaku literasi yakni, memerdekakan diri
dalam hal meningkatkan wawasan dan pengetahuan.
Berpijak
pada pengalaman konkrit, beberapa waktu lalu, dalam sharing via WA
bersama Kepsek SDK Yaperna Fatuhao, Marselus Mahinet,S.Pd. Beliau mengamini bahwa
gerakan litarasi nasional niscaya menjadi kemestian bagi setiap orang.
Menurutnya, literasi harus dimulai dari level pendidikan yang paling dasar.
Oleh karena itu, di satuan pendidikan yang dipimpinnya, ia pun menerapkan
gerakan literasi bagi peserta didiknya. Gerakan literasi konkrit yang
diterapkannya adalah 15 menit pertama sebelum KBM berlangsung setiap anak wajib
membaca buku tentu dibawah pendampingan guru kelas masing-masing. Guna
meningkatkan efektivitas membaca yang merupakan gerakan literasi praktis, peserta
didik tidak saja diwajibkan untuk membaca. Akan tetapi akan disusul dengan mewajibkan
peserta didik untuk meringkas apa yang mereka baca setiap hari. Hal ini persis diamini
oleh Elizabeth Sulzby “1986” bahwa, literasi adalah kemampuan berbahasa yang
dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi “membaca, menulis dan berbicara
serta menyimak” dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Atau dalam
versi singkat, literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Dengan gerakan
yang mungkin terkesan masih sederhana bagi sebagian orang, hemat saya, hal ini justru
akan berimpak besar bagi kualitas literasi dan wawasan diri peserta didik
ketika mereka beranjak ke level pendidikan yang lebih tinggi. Menarik bahwa,
Pak Marsel sapaan akrabnya, mengafirmasi hal itu dengan mengatakan bahwa program
gerakan literasi sejak dini ini akan kami evaluasi dan terus dikembangakan agar
menjadi program permanen bagi kami di SDK Yaperna Fatuhao. Dan bukan tidak
mungkin, gerakan ini menjadi sumbangsih paling konkrit terhadap peningkatan SDM
manusia Indonesia.
Senada
dengan gerakan konkrit yang dilaksanakan oleh SDK Yaperna Fatuhao yang hemat
saya bisa menjadi representasi sebagian besar sekolah–sekolah di bagian
pulau Timor, SMA Amore Prime School sebagai salah satu sekolah swasta di
Tangerang-Banten pun memiliki gerakan literasi yang unik. Guna meningkatkan
literasi para peserta didik, SMA Amore mengusung satu terobosan akseleratif yang
disebut siswa SMA menulis skripsi. Seluruh peserta didik diwajibkan dan
didampingi sejak Kelas X menulis satu karya ilmiah layaknya sebuah skripsi.
Karya ilmiah atau skripsi mini terebut merupakan program jangka panjang yang
mewajibkan seluruh peserta didik tanpa kecuali. Pelaksanaan program yang
terkategori sebagai gerakan literasi di tingkat SMA ini, tidak terbatas pada
batasan sebagai pengembangan skill membaca atau menulis. Lebih dari itu gerakan
literasi ini diamini sebagai kunci untuk memahami serentak berpartisipasi
secara aktif dalam kompleksitas perubahan dunia yang kian akseleratif.
Alasannya, dunia terlalu luas bagi mereka yang tidak cukup pengetahuan dan
literasi diri.
Bahwasannya, dengan membuat karya ilmiah
layaknya sebuah skripsi tersebut, sangat diyakini, seluruh siswa SMA Amore nisca
meningkatkan kecapakan memahami, mengekspresikan, menganalisis informasi dalam
berbagai bentuk. Menarik bahwa gerakan literasi ala SMA Amore tidak terbatas pada
hasrat perolehan nilai, tetapi bahkan menjadi prasyarat kelulusan. Lebih menarik
lagi karena ternyata, dari sekian judul karya ilmiah dipilih beberapa judul
menjadi bahan seminar dan diskusi ilmiah yang melibatkan orangtua murid
(pembicaranya adalah murid).
Dengan
demikian, seminar karya ilmiah yang dibaca sebagai gerakan literasi konkrit
menjadi cara sekolah membekali peserta didik agar benar–benar merdeka dan
bebas karena memiliki bekal yang cukup seperti yang dikatakan Rousseau. Bahwa,
pendidikan harus tiba pada titik memerdekakan manusia di mana seseorang terbebas
dari ikatan kepentingan apapun karena peserta didik dibekali secara mumpuni
hingga memiliki anggapan otoritatif tentang kegunaan sesuatu. Syarat
ketercapaian ini adalah ketepatan kesiapan dan waktu yakni dipersiapkan lebih
dini lebih baik. Salam literasi*.