1. Pengantar
Tua' merupakan minuman beralkohol tradisional yang ditemukan dalam berbagai kebudayaan masyarakat Indonesia. Istilah tua' biasa dikenal dengan berbagai nama atau istilah di setiap daerah. Tuak yang disebut dengan nama sopi atau dalam Bahasa Dawan di Kabupaten Timor Tengah Utara dikenal dengan nama tua'.
Tuak atau tua' (Dawan) atau sopi berasal dari Bahasa Belanda, zoopje yang artinya alkohol cair. Minuman tua' atau sopi berasal dari fermentasi enau (Arenga Pinnata) yang telah mengalami destilasi. Tua' dalam masyarakat Dawan juga berasal dari fermentasi enau atau juga lontar yang menghasilkan nira.
Nira dipanaskan dalam sebuah periuk tertutup dengan satu lubang lalu disambung dengan menggunakan bambu sebagai pipa penyalur ke dalam sebuah wadah. Uap yang mengembun dialirkan melalui bambu menjadi cairan yang dinamakan tua'. Proses penyulingan ini berlangsung beberapa kali dengan memiliki kandungan alkohol yang berbeda-beda.
Penyulingan pertama memiliki kandungan alkohol lebih tinggi. Apabila hasil sulingan ini dibakar maka bisa menghasilkan nyala api. Hasil dari sulingan ini biasa dikenal dengan nama tua' nakaf atau sopi kepala. Istilah unik yang diberikan kepada sopi jenis ini adalah "Bakar Menyala". Sedangkan penyulingan kedua atau ketiga memiliki kadar alkohol yang lebih rendah. Istilah lazim yang diberikan kepada jenis sopi ini adalah tua' haef atau sopi kaki.
2. Nama Tua' dalam Masyarakat Dawan
Masyarakat Dawan-TTU terbagi dalam tiga wilayah besar yakni Biboki, Insana dan Miomaffo. Pemberian nama kepada tua' atau sopi yang dihasilkan dalam masyarakat Dawan bergantung pada tempat atau lokasi atau wilayah di mana terdapat produksi tua' itu. Pemberian namanya pun diciptakan sedemikian rupa menarik dan terkesan waow. Bila produksinya terjadi di wilayah Biboki maka tua' nakaf atau sopi kepala itu diberi singkatan BBM (Biboki Bakar Menyala). Bila pembuatannya di wilayah Insana maka diberi nama TNI (Tua Nakaf Insana). Selain itu ada istilah tetes. Setiap wilayah memiliki tempat andalan sebagai penghasil sopi dan juga istilahnya sendiri untuk memberi nama kepada sopi andalannya itu seperti Tua' Obe, Tua' Tono, Tua' Kiupasan, Tua' Banulu, dll.
Seiring dengan perkembangan zaman, muncul lagi sopi berlabel yang diproduksi di wilayah Insana dengan nama Tua Kolo. Tua Kolo merupakan sopi Timor yang diproduksi secara tradisional menggunakan media periuk tanah dan bambu, dengan penambahan alat lain untuk mendapatkan hasil yang terukur. Fermentasi dilakukan secara organik sesuai resep ramuan sopi turun-temurun, dengan starter berupa akar dan kulit kayu. Selain memberikan rasa dan aroma khas sopi, sesuai penelitian ramuan tradisional resep leluhur ini mengandung Saccharomyces dari bakteri golongan kamir yang membantu pembentukan alkohol yang lebih optimal.
Kandungan alkoholnya mencapai 70% dengan berbagai jenis harga sesuai ukuran botol. Bahkan pada saat merebaknya virus corona, Tua Kolo pun mengembangkan produk ini untuk menghasilkan hand sanitizer yang diolah dari sopi Timor dan Aloe Vera. Organik dan wangi. Ukuran 60 ml, hanya 40.000, enak di genggaman tangan.
Selain berbagai jenis sopi seperti yang telah dikemukakan di atas, ada juga jenis sopi lain dengan kadar alkohol yang lebih rendah hasil dari olahan hasil bumi yang difermentasi menjadi sopi. Sebut saja namanya seperti anggur jahe, anggur pisang, dan lain sebagainya. Bahkan ada jenis tertentu yang tidak difermentasi tetapi mengandung alkohol yang lebih rendah seperti tua' meno (Sopi pahit) dan tua mina (Sopi manis).
Semua produk ini tergolong kategori tua' atau sopi sebagai minuman beralkohol yang dapat digunakan dalam berbagai macam urusan, menyangkut budaya, sosial, kemasyarakatan dan lain sebagainya.
Meski tua' mendapat tempat yang halal dan istimewa dalam masyarakat Dawan namun tidak dapat dipungkiri bahwa tua' juga berdampak negatif dan dianggap haram.
Efek mengonsumsi tua' atau minuman beralkohol akan terlihat sangat cepat. Tidak butuh waktu lama bagi etanol untuk bereaksi dalam tubuh. Awalnya, peminum terlihat percaya diri dan seperti memiliki energi tingkat tinggi. Ini merupakan dampak dari terlarutnya lemak oleh alkohol sebagai cadangan energi.
Selanjutnya, ketika konsumsi alkohol semakin banyak maka tingkat kesadaran akan menurun, orang akan lepas kontrol dalam berperilaku. Orang menjadi tidak mampu memahami hal yang membahayakan dirinya atau orang lain. Orang dapat melakukan apa saja, termasuk berbagai tindakan destruktif yang merugikan dirinya dan orang lain. Berbagai tindakan asusila, kekerasan fisik, pertengkaran, pencurian, perjudian, permusuhan bahkan lebih parahnya sampai menghilangkan nyawa orang lain seringkali terjadi.
Itulah sebabnya minuman keras dapat dikategorikan sebagai minuman yang haram. Meski demikian, Indonesia memiliki banyak wilayah dan budaya dengan berbagai kebiasaan yang berbeda-beda. Sebagian wilayah dan budaya di Indonesia justru melihat minuman keras sebagai bagian dari kearifan lokal dan dianggap sebagai minuman yang halal dalam tata budaya dan kebiasaannya.
Oleh karena mempertimbangkan dampak negatif dari minuman keras beralkohol, maka pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang hal tersebut. Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 yang berbicara tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Dikatakan dalam peraturan tersebut bahwa ada tiga golongan minuman beralkohol, yakni: golongan A: minuman yang mengandung etil alkohol dengan kadar sampai dengan 5 persen; golongan B: minuman yang mengandung etil alkohol dengan kadar lebih dari 5 persen sampai dengan 20 persen; dan golongan C: minuman yang mengandung etil alkohol dengan kadar lebih dari 20 persen sampai dengan 55 persen.
Minuman beralkohol ini tidak boleh dijual di lokasi yang berdekatan dengan tempat peribadatan, lembaga pendidikan dan rumah sakit. Aturan tersebut kemudian diperjelas dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-Dag/Per/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Lebih lanjut Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur pun memiliki Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor 44 Tahun 2019 tentang Pemurnian dan Tata Kelola Minuman Tradisional Beralkohol Khas Nusa Tenggara Timur dengan mempertimbangkan kearifan lokal di dalamnya.
Berdasarkan peraturan ini, minuman tradisional beralkohol yang diproduksi oleh masyarakat harus dijual kepada orang/badan hukum/lembaga berbadan hukum yang melakukan destilasi atau penyulingan untuk dilakukan pemurnian dan standarisasi. Selain hotel, bar dan restoran, minuman tradisional beralkohol juga dijual di minimarket, supermarket, toko pengecer lainnya, atau tempat tertentu yang ditetapkan oleh gubernur dan bupati/walikota.
Minuman tradisional beralkhohol yang dijual selain di hotel, bar dan restoran hanya dibolehkan untuk kepentingan adat, kepentingan ritual keagamaan, dan cinderamata, yang dibatasi dengan takaran volume sampai dengan 1000 ml. Setiap orang pun dilarang mengonsumsi minuman tradisional beralkohol sampai mabuk atau menyebabkan gangguan keamanan dan ketertiban umum yang mengakibatkan kerugian harta benda, badan atau nyawa orang lain (Bdk. Artikel di Kompas.com dengan judul "Hukum Minum Alkohol di Indonesia")
Sebagai kearifan lokal, tua' dalam kacamata orang Dawan dilihat sebagai media komunikasi yang baik. Maka selanjutnya kita perlu mengetahui jenis-jenis media komunikasi.
Sebelum kita membahas jenis-jenis media komunikasi, alangkah baiknya kita mengetahui arti komunikasi terlebih dahulu. Komunikasi berasal dari kata Bahasa Latin yakni dari kata communicare yang berarti menyampaikan. Secara etimologis, komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian makna dari satu entitas maupun kelompok ke kelompok lain dengan menggunakan tanda, simbol maupun aturan semiotika yang dapat dipahami dan dimengerti bersama.
Komunikasi dapat diartikan sebagai aktivitas dasar manusia yang berperan penting serta tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Dengan melakukan komunikasi, manusia dapat saling berhubungan antara satu dengan lainnya dalam kehidupan sehari-hari, dalam pekerjaan, pergaulan, dan kegiatan lainnya baik di ruang publik maupun di tempat-tempat khusus. Intinya, ada manusia pasti ada komunikasi.
Menurut Blake dan Horalsen, media komunikasi merupakan saluran yang dipakai untuk mengantar pesan dari pihak pembawa pesan kepada penerima pesan. Media komunikasi yang disampaikan itu baik perorangan maupun banyak orang atau masal.
Jenis-jenis media komunikasi dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok yakni berdasarkan jenis saluran dan berdasarkan cara penyebaran. Pertama, berdasarkan jenis saluran, media komunikasi terdiri dari komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal itu berupa komunikasi oral dan tertulis. Sedangkan komunikasi nonverbal seperti bahasa tubuh, ekspresi wajah, sentuhan, penampilan, sikap, gerakan tubuh. Kedua, berdasarkan cara penyebaran, media komunikasi dapat dikategorikan ke dalam empat jenis yakni media audio, media visual, media audio visual dan media cetak.
Dalam pembicaraan terkait tema ini, penulis akan berusaha mengaitkan jenis-jenis komunikasi sesuai dengan konteks yang terjadi dalam masyarakat Dawan-TTU dengan tua' sebagai media komunikasi multidimensi. Mengapa demikian? Karena tua', sebagai media komunikasi multidimensi dapat berkaitan dengan komunikasi verbal dan nonverbal, dapat juga mencakup hal-hal visual, audio dan audio visual.
Tua' sebagai media komunikasi multidimensi dapat dikaji dalam beberapa perspektif yakni sosial, ekonomi, budaya, moral, hukum dan religius. Dalam hal tua' sebagai media komunikasi maka segala jenis tua' entah itu tua' nakaf atau tua' haef atau tua' jenis lain pun bisa digunakan.
Dari perspektif sosial, tua' memiliki peran penting dalam hidup sosial kemasyarakatan orang Dawan. Ada berbagai hajatan sosial yang terjadi seperti pernikahan, kerja bersama, kumpul keluarga, dan lain sebagainya. Setiap hajatan selalu membutuhkan tua' bila dibutuhkan. Sebagai media komunikasi, tua' berperan sebagai tanda yang digunakan dengan komunikasi verbal untuk mengundang orang atau keluarga atau tetangga untuk menghadiri hajatan yang akan terjadi. Pembawa pesan akan mengundang dengan komunikasi verbal dan nonverbal, hai em mel tua' i he mitonan kit (Kami datang membawa sopi ini untuk mengundangmu). Informasi ini disampaikan sambil menunjuk pada sopi yang disimpan di atas meja atau tempat yang layak.
Ketika ada anggota keluarga yang akan melangsungkan pernikahan baik secara adat maupun pernikahan keagamaan, perwakilan keluarga akan pergi mengundang anggota keluarga lain untuk menghadiri hajatan tersebut dengan berkunjung ke rumah keluarga lain dengan membawa sebotol tua' sebagai tanda bahwa undangan telah disampaikan kepada keluarga yang diundang. Dalam hal kerja bersama seperti membangun rumah, kerja kebun atau kerja lain pun, atau pun kumpul keluarga untuk berbagai acara yang akan terjadi dan melibatkan keluarga besar atau orang lain, tua' memiliki fungsi yang sama.
Apabila, persediaan tua' tidak mencukupi atau tidak ada maka media lain yang bisa digunakan untuk memberitahu keluarga atau orang lain adalah siri pinang dan rokok.
Proses penyulingan Tua
Selain aspek sosial, tua' juga dapat dilihat dari perspektif ekonomi. Diakui bersama dalam masyarakat Dawan bahwa banyak anak dapat mengenyam pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi berkat usaha tua' dari orang tua. Ada sekian banyak anak yang akhirnya menjadi bisa menyelesaikan studi S1, S2 dan S3 karena usaha tua' ini. Bahkan mereka yang akhirnya menjabat di berbagai instansi pemerintahan atau juga mereka yang menjadi pemimpin agama seperti pastor, bruder, suster, karena orang tuanya mengusahakan dan menjual tua'.
Namun dalam hal komunikasi, tua' dilihat sebagai ungkapan terima kasih. Apabila ada penjasa lain selain orang tua yang memberi perhatian selama anaknya sekolah, maka orang tua dari anak yang sekolah itu akan membawa sebotol sopi atau tua' kepada sang penjasa untuk berterima kasih kepada sang penjasa yang telah berjuang membantu menyekolahkan anak itu. Terima kasih dalam bentuk sopi juga bisa diberikan kepada mereka yang telah membantu dalam hal kerja kebun, kerja lainnya atau pun kegiatan lain yang pantas mendapat terima kasih. Pihak yang berterima kasih akan mengatakan, tua' le i neo le hit haeta (Sopi ini diperuntukkan untuk jasamu).
Secara budaya, tua' menjadi media komunikasi yang memiliki peran besar. Dalam adat kebiasaan orang Dawan, tua' sebagai media komunikasi yang mencakup dua jenis manusia. Dua jenis manusia yang dimaksud adalah manusia yang hidup dan yang telah meninggal.
Banyak hajatan budaya yang menggunakan tua' sebagai media lazim untuk menghubungkan sesama manusia yang hidup. Hajatan pernikahan, seluruh proses adat mulai dari acara peminangan sampai pada puncak pernikahan secara adat, membutuhkan tua' sebagai media komunikasi verbal yang menghubungkan keluarga dari kedua bela pihak. Selain pernikahan, tua' juga dibutuhkan dalam acara-acara lainnya seperti pembangunan rumah adat dan pesta syukurnya, rumah tinggal, pesta nikah, dan hajatan budaya lainnya.
Ada juga sisi lain dari tua' sebagai media komunikasi antar sesama manusia yakni dengan mereka yang telah meninggal dunia. Tua', siri-pinang, dan sesajian merupakan media lazim yang sering digunakan oleh manusia Dawan yang hidup untuk berkomunikasi dengan sesamanya yang telah meninggal. Bagi orang Dawan, anggota keluarga yang meninggal itu tetap hidup, tidak selesai dan tidak hilang. Orang yang telah meninggal itu berpindah tempat. Istilah yang tepat adalah in es fatba biana ben (Dia berada di sebelah batu). Di sebelah batu merupakan istilah simbolis untuk memisahkan tempat dan keberadaan dunia orang hidup dan dunia orang mati. Karena orang yang telah meninggal itu berada di sebelah batu, maka ia tetap mempunyai mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar (In nmui' matan he nit ma luken he nen).
Tua' akan digunakan sebagai media informasi sekaligus sebagai tanda penghormatan terhadap keluarganya yang telah meninggal. Di dalamnya ada komunikasi verbal berupa kata terucap yang disampaikan kepada orang yang telah meninggal, diikuti dengan komunikasi nonverbal seperti menuangkan tua' ke tanah atau batu sebagai tanda orang yang meninggal akan merestui permohonan yang disampaikan.
Ketika manusia yang hidup ingin berkomunikasi dengan sesamanya yang telah meninggal, maka setetes tua' akan dituangkan ke atas tanah atau batu yang dijadikan sebagai mezbah atau suatu tempat yang dianggap layak, entah itu di rumah, kuburan, atau di mana saja sambil mengucapkan kata-kata yang menjadi tujuan pembicaraan. Seorang anak yang ingin meminta restu dari orang tuanya yang telah meninggal untuk suatu kegiatan yang akan dilakukannya maka tua' menjadi salah satu media komunikasinya.
Selain itu, tua' juga dapat dilihat dari aspek hukum dan moral. Tua' digunakan sebagai tanda adanya kesepakatan bersama yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok manusia. Misalnya, ketika ada kesepakatan bersama dalam hidup sosial kemasyarakatan bahwa warga kampung tidak boleh mencuri. Hasil kesepakatan bersama ini ditandai dengan tua' yang disimpan di depan semua orang yang hadir, kemudian sang pemimpin akan mengumumkan hasil kesepakatan tersebut agar diketahui bersama, lalu disahkan dengan tua' yang akan diminum bersama pada kesempatan itu. Hit hanka mese ben esle i artinya kita sudah sepakat bersama. Kesepakatan bersama ditandai dengan tua' sebotol yang disimpan di atas meja atau di tempat yang layak, yang dapat dilihat oleh semua orang, kemudian semua orang yang sepakat itu dapat meminumnya secara bersama-sama.
Apabila terjadi persoalan yang mengganggu dan terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dan moral yang berlaku dalam hidup sosial kemasyarakatan, maka tua' akan dihadirkan sebagai media komunikasi yang bernilai denda, mendamaikan dan mempersatukan serta mempertemukan kembali. Bila ada warga masyarakat yang melanggar hasil kesepakatan bersama dengan melakukan tindakan melawan hukum dan moral, seperti mencuri, selingkuh, berkelahi, dan sebagainya, maka warga tersebut akan dihadapkan kepada pihak berwenang (tua adat, Desa/Dusun/RW/RW, pemimpin agama) agar masalah tersebut dibicarakan bersama.
Bila sang pencuri, orang yang selingkuh, dan juga orang yang berkelahi itu bertobat dan mengakui kesalahannya, maka tua' akan diadakan oleh pihak bersalah sebagai tanda denda. Biasanya ada istilah, tua' nok in sunan, artinya sopi dan tanduknya. Tanduk sopi yang dimaksudkan itu adalah tutup botol sopi. Tutup botol sopi tradisional masyarakat Dawan biasanya beraneka ragam jenisnya seperti kulit jagung, plastik, tongkol jagung, enau, dll. Istilah tua' nok in sunan dimaksudkan sebagai bahasa simbol yang mengarah pada denda berupa sopi dan sejumlah uang dan benda/barang yang harus dipenuhi oleh pihak bermasalah sesuai kesepakatan bersama.
Wujud Tertinggi disebut dengan nama Usi Neno. Usi artinya Raja, Neno artinya langit atau hari atau waktu. Orang Dawan melihat Wujud Tertinggi itu sebagai Raja Langit atau Raja Hari/Waktu. Untuk berkomunikasi dengan Usi Neno, orang Dawan bersahabat dengan alamnya yang memiliki identitas lewat hau kana', faut kana' dan oe kana'. Hau, faut (fatu) dan oe itu merujuk pada kayu, batu dan air yang menjadi identitas nama dari setiap suku. Setiap suku dapat berkomunikasi dengan Wujud Tertinggi melalui tiga unsur yang berada di setiap tempat keramat dari setiap suku. Tua' menjadi media komunikasi yang baik antara manusia dengan Wujud Tertinggi melalui alam dan tata cara kebiasaannya.
Selain itu, orang Dawan akan berkomunikasi dengan Wujud Tertinggi melalui arwah para leluhur. Biasanya selain menggunakan hewan kurban seperti ayam, babi atau sapi, mereka juga menggunakan tua'. Tua' digunakan untuk berkomunikasi dengan para leluhur. Hai mitonan ki mek nafuf i ma oef i, he hit et lof mitutan lasi ma mitutan tone neo Afinit ma Aneset artinya kami (manusia yang hidup) memberitahu kamu (para leluhur) dengan menggunakan binatang dan darahnya ini karena kamu yang akan melanjutkan pembicaraan kami ini kepada Dia Yang Berkuasa. Tua' dan hewan kurban menjadi media komunikasi yang dianggap layak dalam ritual ini karena para leluhur dilihat sebagai pengantara doa antara Wujud Tertinggi dan manusia yang hidup.
Dengan demikian, tua' dalam konteks masyarakat Dawan merupakan media komunikasi yang kaya dan sarat makna-nilai. Tua' dijadikan sebagai media komunikasi dalam membangun relasi dengan Wujud Tertinggi, alam dan adat/kebiasaan hidup baik antar sesama manusia yang hidup maupun dengan mereka yang telah meninggal. Di dalamnya terkandung berbagai nilai hidup untuk menjaga keluhuran dan martabat hidup orang Dawan dalam nilai persaudaraan, perdamaian, persatuan, keakraban, hormat, saling menghargai, syukur dan terima kasih dalam berbagai dimensi hidupnya.
6. Penutup
Tua' merupakan media komunikasi multidimensi dalam kontek hidup orang Dawan. Orang Dawan menjaga martabat dan keluhuran hidupnya dengan menggunakan berbagai hal yang dimilikinya termasuk tua' sebagai salah satu produk asli daerahnya. Orang Dawan dapat membangun relasinya yang harmonis dengan Tuhan, sesama dan alamnya dengan menggunakan tua'.
Orang Latin mengatakan in vino veritas (di dalam anggur adalah kebenaran). Ungkapan ini dimaksudkan bahwa orang mabuk akan mengatakan yang benar. Tua' atau sopi dapat disebut sebagai anggur yang memabukkan itu, tetapi bagi orang Dawan, melalui tua' terjalin berbagai bentuk komunikasi yang hidup, bermakna dan bernilai.
Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai masalah dapat timbul akibat konsumsi tua' yang berlebihan. Permusuhan dan pertengkaran seringkali terjadi karena konsumsi tua' yang melampaui batas kewajaran. Apabila terjadi masalah akibat konsumsi tua' yang berlebihan, hal ini sebenarnya dilakukan oleh oknum orang Dawan yang tidak tahu, tidak kenal dan tidak sadar diri.
Karena pada hakekatnya, keberadaan tua' sebagai bukti nyata dari kreativitas orang Dawan menghargai dan mengolah kekayaan dan hasil buminya hingga menghasilkan tua' sebagai media komunikasi multidimensi (Wujud Tertinggi, sesama dan alam) yang bernilai luhur. Makanya para orang tua selalu memberi nasehat, tiun me kaisa tmauf (Minum tetapi tidak boleh mabuk). Hal ini dimaksudkan agar tua' yang bernilai luhur dalam tata budaya orang Dawan tidak dikerdilkan oleh ulah oknum orang Dawan yang minum berlebihan dan tidak bertanggung jawab.