MEMAKNAI MASA ADVEN SEBAGAI MOMENTUM PERUBAHAN DIRI
Ronny Manas
Umat katolik baru saja memasuki minggu pertama masa adven.
Waktu khusus yang menandai persiapan umat katolik menyongsong hari natal. Secara
harafiah, kata adven berasal dari bahasa latin, adventus yang berarti
datang atau kedatangan. Secara etimologis, masa adventus adalah momentum
menanti kelahiran Yesus. Umat katolik menjalani kesempatan ini sebagai masa
istimewa untuk mempersiapkan diri sebagai tanggapan praktis terhadap tawaran
keselamatan ALLah.
Merujuk pada laman Kristen Katolik, masa adven berlangsung
selama empat pekan berturut – turut menjelang natal. Selain persiapan hati,
terdapat aktus konkrit yang dibuat seperti pemasangan lingkaran adven (Adven
Wreath) berupa karangan bunga.Lingkaran adven diimani sebagai simbol
kehidupan yang berkelanjutan, tanpa awal dan akhir. Biasanya lingkaran adven
dibuat dari dedaunan hijau segar berupa cemara yang melambangkan kehidupan
Kristus yang mati namun hidup Kembali untuk selamanya. Di dalam lingkaran adven
terdapat 4 batang lilin yang terdiri dari 3 lilin adven berwarna ungu dan satu
lilin berwarna merah muda. Keempat minggu adven yang ditandai dengan lilin yang
dinyalakan setiap minggu, mengandung pesan dan makna masing – masing.
Minggu adven pertama; salah satu lilin berwarna ungu
dinyalakan. Minggu adven pertama mengingatkan tentang kedatangan Yesus Kristus
Sang Penebus dan mengandung pesan harapan. Bahwasannya, masa adven sebagai masa
penantian kadatangan Yesus, harus dijalani dan dimaknai menumbuhkan harapan
akan penggenapan janji Allah lewat kelahiran Yesu. Sembari itu, umat katolik
diharapkan mempersiapkan diri melalui tindakan rekonsiliatif agar layak
menyambut Yesus Sang Bayi natal.
Minggu adven kedua dan lilin ungu kedua dinyalakan,
memiliki arti sebagai kesetiaan dan cinta. Hal ini mengingatkan umat katolik
yang sedang menanti agar mempersiapkan jalan bagi kedatangan Tuhan dengan hati
yang setia dan penuh cinta. Lilin adven kedua disebut sebagai Bethlehem yang berarti
Yesus Kristus Juruselamat akan lahir di dalam hati setiap orang yang
menantikanNya.
Pada Minggu adven ketiga, lilin berwana merah muda
dinyalakan. Minggu adven ketiga mengingatkan tentang sukacita. Bahwa, umat
katolik yang sedang mempersiapkan dan menanti kedatangan Sang Juruselamat,
harus memiliki hati yang bersukacita karena yang dinantikan semakin mendekat.
Minggu adven keempat dengan keempat lilin bernyala menandakan
perdamaian yang mengingatkan tentang kemuliaan Tuhan yang tidak pernah
terlambat menggenapi janjiNya lewat kelahiran Yesus. Makna dan pesan iman dari keempat
minggu adven di atas merujuk satu pesan penting yakni tentang perubahan diri yang
menuntut rekonsiliasi diri untuk menata hati sebagai istana lahirnya sang Juruselamat.
Masa Adven Sebagai Momentum Perubahan Diri
“Tempora mutantur et nos mutamur in illis” waktu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya. Pepata klasik ini
sejalan dengan apa yang dikatakan Herakleitos tentang perubahan. Bahwa tidak
ada yang tetap di dalam alam semesta ini kecuali perubahan itu sendiri (segala
sesuatu mengalir). Senada dengan dengan itu, orang China Kuno bahkan meyakini
perubahan inti dari alam semesta. Hal ini mengafirmasi perubahan sebagai suatu
dimensi niscaya bagi manusia dengan syarat perlu adanya komitmen untuk berubah dari
manusia secara jujur dan ikhlas.
Komitmen untuk berubah, tentu hanya akan menjadi frase
sederhana tanpa arti jika tidak melibatkan peran hati dan pikiran.Oleh karena
itu, langkah menciptakan perubahan esensial adalah perubahan ala katolik. Sebagaimana
terkandung dalam makna masa adventus di atas, perubahan katolik mensyaratkan
hati sebagai sumber dari perubahan diri. Bahwa perubahan diri dapat terjadi
ketika didasari sikap pertobatan yang dimulai dari perubahan pikiran lantas
diwujudkan dalam tindakan nyata (Bdk.Lukas 3:8-14, Kisah Para Rasul 3:19). Secara
biblis, Kitab Suci Perjanjian Lama, menyebut kata tobat dengan sebutan “Shub”
yang berarti berubah haluan, datang lagi, Kembali pada langkah–langkahnya,
berputar arah, meninggalkan cara hidup lama dan mengambil jalan sesuai perintah
Tuhan sebagai cara hidup baru. Aktus berbalik arah atau berputar arah dan meninggalkan
cara hidup lama harus dijiwai oleh semangat berharap yang dipahami sebagai
motivasi yang dapat membangkitkan semangat manusia dalam menggapai apa yang
diinginkan. Pada sisi lain, harapan pun dapat diyakini sebagai daya pacu yang
menggiatkan manusia dalam meraih sesuatu.
Namun, harapan tidak dapat dijadikan sebagai dimensi tunggal dalam
menciptakan perubahan diri. Harapan membutuhkan cinta sebagai panggilan hidup
dan dasar dari perubahan diri. Bahwasannyam ciinta sebagai panggilan hidup
niscaya mengalaimi proses eksistensialis yang melibatkan kerelaan, penerimaan,
keterlibatan serta kesetiaan hati. Dengannya
niscaya mendatangkan perubahan diri yang bermuara pada kedamaian.
Oleh karena itu, masa adventus sungguh–sungguh dijalani sebagai proses eksistensialisasi diri bukan sebagai kewajiban religi yang ritmis belaka. Masa adven harus dimaknai sebagai ‘ruang kemungkinan’ yang di dalamnya terjadi proses mengubah pola pikir dan tindakan lama. Kemudian daripada itu, mengambil langkah baru yang dimulai dengan pertobatan, harapan dan cinta. Langkah pertobatan, harapan dan cinta harus ditunjukkan lewat kerelaan menerima sesama sebagai aku yang lain; ketulusan untuk terlibat dalam peristiwa sesama sebagai aku yang sosialis dan keiklasan memberi sebagai wujud mencintai Tuhan secara dekat.Selaras dengan itu, melibatkan Tuhan sebagai sumber perubahan sejati. Dengan demikian masa adven sungguh menjadi momentum perubahan diri dan layak menjadi Bethlehem bagi kelahiran Yesus Sang Juru selamat. Mari menanti dalam semangat perubahan diri.