BUNDA MARIA MENGETAHUI
Marsella Ceunfin
Mendung di sore itu membuat niatku hampir gagal. Aku melangkahkan kaki keluar dari bangunan tua itu, menggenggam sebuah tas kecil berisi buku-buku penuntun Legio Maria. Ketika melangkah, aku merasakan keanehan dalam diriku.
Aku merasa seperti ada sesuatu yang menggerakkan hatiku untuk cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu. Aku bersama teman-teman lainnya berjalan, masing-masing menggenggam rosario di tangan, ada yang mengisinya dalam saku celana.
Seorang suster pakaian kebesaran berwarna putih, kulitnya yang hitam, mengenakan sendal sepatu berwarna coklat, muncul dengan senyuman yang sangat meyakinkan. Senyuman yang dipancarkan bagaikan setangkai bunga yang dengan suburnya mekar di pagi hari.
Kami berjalan sambil bercanda gurau dan berbagi pengalaman. Seorang ibu berumur 40-an tahun dengan rambutnya yang berombak, kulitnya yang coklat berdiri sambil mengarahkan pandangan ke arah kami. Aku mengenalnya. Dia adalah ibu Tildis Bona yang dengan susah payah berusaha dan berjuang membawa kami bertemu dengan para panglima balatentara Maria lainnya.
Kami tiba di sebuah rumah yang sederhana namun sangat indah bila dilihat dari depannya. Bunga-bunga yang cantik, halamannya yang bersih dan juga udara yang segar membuat para pengunjung sore itu merasa nyaman. Terlihat dengan jelas wajah seorang Bunda yang sudah menunggu sejak tadi. Dia adalah panglima balatentara kami, Bunda Maria.
Dengan senyumnya yang manis menyambut kami anak-anak untuk berjumpa dan melaksanakan tugas melalui kerasulan. Jam di dinding menunjukkan pukul 16:42 dan saudari Ketua dari Presidium 'Bejana Rohani' mengajar kami berdoa bersama sambil mengenang lima peristiwa suci, dilanjutkan dengan pembacaan rohani oleh saudari Ketua, penerimaan tamu oleh saudari wakil, laporan keuangan oleh saudari bendahara, dan dengan lantangnya masing-masing kelompok melaporkan tugas yang telah dijalankan. Acara yang lain pun berjalan sesuai dengan sistem yang ada.
Aku merasakan sesuatu, lalu tanpa sadar air mataku jatuh dengan sendirinya. Aku memandang dia yang menuntunku hingga pada titik ini. Perjuanganku selama satu tahun lebih memang sangat sulit bagiku, untuk membuktikan bahwa aku adalah panglima sungguh-sungguh. Bunda Maria mendengar doaku, Bunda Maria mengetahui pikiran dan arah maksudku. Semua harapanku tercapai, bisa berjumpa dengan orang-orang yang menurutku sungguh-sungguh mencintai Bunda Maria.
Dengan inisiatif, aku sendiri menamakan presidium kami dengan nama 'Bunda Rahmat Ilahi,' dialah sang pemberi rahmat yang secara rahasia tidak dipahami dan dimengerti oleh siapapun namun terasa dan nyata dalam hidup sehari-hari. Terima kasih untuk arahannya, terima kasih untuk tuntunannya.
"Selamat datang untukmu semua yang telah datang sampai di sini. Tentu ini adalah bimbingan dari Bunda Maria. Luar biasa sekali kalau anak muda seperti kalian mau bergabung dalam kelompok doa khususnya kategorial Legio Maria. Saya dan teman-teman akan berusaha supaya adik-adik semua yang menjadi anggota percobaan selama ini bisa secepatnya ucap janji. Kita sama-sama bergandengan tangan untuk menghancurkan kepala ular," ungkap Ibu Candida menutup rapat sore hari itu.