Langkah kakiku terhenti di malam itu, pada saat aku tidak sengaja mendengar sebuah lagu dengan judul "Pengantar Meditasi". Aku mengkliknya pada layar HPku lalu mendengarnya. Kian lama lagu itu membawaku dalam suatu permenungan di dalam gelapnya malam.
Aku menelusuri jalan setapak itu dengan langkah pelan sambil memandang bintang yang berada di atas sana. "Engkau terlalu jauh untuk kujangkau, aku ingin menceritakan semua hal yang terjadi dalam diriku saat ini," kataku dalam hati. Di gelapnya malam aku melihat bayang-bayang manusia yang lalu lalang kian kemari.
Aku berhasil melihat mereka dari kejauhan dengan bantuan sinar lampu di bawah pohon dan juga di depan ruangan yang berjejeran rapi itu. Angin di malam itu berhembus dengan segar membuatku ingin tetap berada di tempat itu. Sebuah ruang kosong dengan berdindingkan tripleks bercat kuning dan memiliki dua ruang kosong menjadi saksi bisu dalam permenunganku.
Dengan pengantar lagu itu aku mulai bermenung lebih dalam lagi. "Jika saat ini aku dipanggil kembali oleh Sang Kuasa, apa yang harus saya pertanggungjawabkan? Jika ditanya seperti ini, aku sendiri belum melakukan apa-apa." Aku terus bertanya dalam hati dengan perasaan campur aduk, gelisah dan takut.
Aku lalu mulai mengingat-ingat tentang kisah seseorang yang dituliskan dalam sebuah buku cerita tentang pengalaman hidupnya. "Saya adalah seorang Bruder, yang ditempatkan pada satu komunitas untuk menjadi seorang pemimpin. Tugas saya sehari-hari adalah selain mengurus tugas-tugas utama saya sebagai pemimpin juga mengurus anak-anak asrama yang tinggal dalam komunitas itu." Dalam permenungan saya setelah sekian lama menjadi seorang pemimpin hal yang sering bahwa setiap kali saya lakukan adalah berdoa.
Hal pertama yang saya panjatkan dalam bentuk permohonan adalah ucapan syukur dan terima kasih, dan sebagai orang berdosa saya mohon ampun dan mohon berkat dari Tuhan untuk waktu dan kesempatan yang akan datang. Tidak lupa juga dalam doa saya, saya selalu meminta Tuhan dengan wujud doa 'Tuhan saya mau untuk mengubah dunia ini'. Setelah masa jabatan saya selesai sebagai pimpinan, hal yang membuat saya kaget adalah saya belum bisa melakukan apapun dan juga tidak ada perubahan dalam komunitas yang saya pimpin.
Padahal saya sudah berjuang dan berusaha untuk merubah dunia ini, namun kenyataan tidak sesuai harapan. Mungkinkah ada kesalahan dalam diriku atau kerjaku? ungkap sang Bruder.
Hal ini juga disampaikan oleh seorang sahabatnya di mana sebelum sahabatnya dipanggil Tuhan, ia meninggalkan sebuah surat yang ditujukan kepada sahabatnya, dengan maksud agar pengalamannya itu bisa menginspirasi banyak orang. Sahabat saya meninggalkan secarik kertas dengan tulisan bahwa sebelum ia terbaring di tempat tidur sebuah refleksi yang berhasil membawanya pada sebuah kesadaran bahwa isi doa dan permohonannya kepada Tuhan dalam setiap rencananya.
Ia menyampaikan bahwa dalam meditasi Tuhan datang kepadanya lalu berbicara dengannya. "Engkau sendiri egois dalam berdoa, bagaimana mungkin engkau mau merubah dunia sedangkan dirimu sendiri belum bisa merubah dirimu sendiri." Sejak saat itulah ia menyadari keadaannya.
Ia menangis dan menyesal, lalu bertanya dalam dirinya "Seandainya waktu itu doa yang kupanjatkan adalah merubah diriku barulah merubah dunia, pasti sekarang tidak ada penyesalan seperti ini," itulah isi surat yang ditinggalkan oleh sahabat saya.
Dari kisah ini permenungan dalam setiap kesempatan perlulah dilakukan, di mana kita sendiri mengukur diri kita, apakah pantas atau tidak? Terlebih khusus mengenai isi doa dan permohonan kita. Untuk tidak menjadi menyesal dan kecewa dengan Tuhan karena permohonan kita tidak dikabulkan maka harus dibutuhkan jawaban dari Tuhan sendiri.
Marsela Ceunfin