Panas terik matahari di siang itu membuatku kepanasan. Kendaraan beroda dua, roda empat dan juga manusia yang lalu lalang tanpa arah. Ada keributan di sana sini, itulah Terminal Kefamenan. Aku turun dari angkot lalu melangkahkan kaki keluar.
Ketika berjalan hendak mencari naungan di sekitar karena panas, ada suara yang memanggil, "Hei, hei, heiii." Ada suara yang memanggilku dari jauh. Aku membalikkan badan melihat ke arah sumber suara. Seorang perempuan tua dengan baju hitam tipis yang dikenakan, selendang yang melingkar pada lehernya serta sarung adat motif Biinmafo.
Kulitnya hitam, giginya kemerahan akibat makan siri-pinang. Ia menggunakan alas kaki bertuliskan yeye. Nenek tua itu berlari menghampiriku yang sedari tadi berusaha untuk mengingatnya. Ia merangkulku, sambil berbisik di telingaku katanya, "Engkau sudah besar e?" Aku berdiri mematung menerima semua reaksinya. Makin lama ia mengerti maksudku.
Nenek tua itu memukul bahuku lalu berkata lagi, "Kau Desi yang waktu itu pernah ke rumahku, kita berdoa bersama ketika aku sakit berat. Waktu itu kau pergi bersama kedua temanmu, berkat doa kalian saya bisa seperti ini". Ia memelukku lagi sambil meneteskan air mata. Aku mulai mengingatnya. Dia adalah nenek Bernadette. Melihatnya yang tidak bisa tahan air matanya lagi, aku merangkulnya lalu berbisik untuk pergi dari keramaian itu.
Di sudut tembok putih itu, kami mulai bercerita dan berbagi cerita. Aku senang sekali melihatnya lagi. Dia adalah seorang nenek tua yang memiliki empat orang anak laki-laki. Karena sudah besar, mereka semua meninggalkannya sendirian di rumah. Suaminya telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Aku mengenalnya sewaktu ia sakit. Aku sering sekali mengunjunginya kala itu.
Atas kedekatan itulah nenek Bernadette menganggap kami sebagai anaknya sendiri. Setiap kali pergi ke kebun, ada buah-buahan apa saja yang dimakan pasti dibawakan untuk kami termasuk jambu mente dan jambu air.
Klakson berbunyi, pertanda bus akan segera beranjak pergi. Kami berpisah. Ia melambaikan tangannya lalu berpesan padaku, "Nak, sekolah baik-baik yahh! Ingat orang tuamu di kampung. Tidak perlu jadi yang sempurna cukup kerja baik dan hidup baik."
"Semoga hari-harimu selalu membawa sukacita bagi orang lain. Salam untuk keluarga semua." Aku mencium tangannya lalu melambaikan tangannya sebagai perpisahan.
Setelah sekian lama, mengingat kisah empat tahun lalu, aku sendiri ingin menangis, ternyata nenek tua itu kembali mengukir kisah indah. Dan hari ini Tuhan menghendaki kami bertemu dalam keadaan dan situasi yang sehat. Ternyata nenek Bernadette belum melupakanku. Terima kasih untuk kisah dan cerita hari ini. Tuhan menyertaimu dalam menjalani masa tuamu. Aku mencintaimu.
Oleh: Marsela Ceunfin