BERJALAN
MENUJU ALTAR, TANPA MAMA DAN BAPAK
Romo Engel, saya ingin
menulis lagi, malam ini. Mohon ijin. Kemarin dan hari ini bergerak dan berubah.
Sapaan ‘Diakon’ kini telah berganti menjadi ‘romo’. Saya tidak akan lagi
memanggilmu, diakon. Tanganmu telah terurap.
Kini saya memanggilmu, Romo Engel. Begitulah sapaan baru untuk sang imam baru Keuskupan Atambua, yang bernama lengkap, Engelbertus Nahak. Hari ini, dalam ketegaran hatimu, saudaraku Engelbertus disebut Reverendus Dominus. Romo Engel menjadi mulia dan terhormat karena teguh dan tegar berjalan menuju altar Tuhan dalam keadaan sedikit tertunduk tanpa didampingi mama dan bapaknya. Pemandangan ini tidak biasa dan tidak lazim, tetapi itulah yang terjadi, selama saya mengikuti tahbisan imam selama ini.
Dalam perjalanan menuju
Atambua untuk mengikuti tahbisan imam seturut tradisi Katolik, saya menemukan
sebuah foto dalam group WA. Foto itu adalah kau, saudaraku, berkemeja merah
lengan pendek, celana putih, sambal memegang dan tertunduk di hadapan peti
jenazah sang bunda. Di bawahnya tertulis, “Diakon Engel pamit kepada mama
tercinta untuk pergi mengikuti tahbisannya hari ini tanpa mama tercinta di
sampingnya. Sedih sekali melihatmu ini, saudaraku.
Ingin rasanya cepat
menemuimu dan memelukmu. Dugaan-dugaanku tadi malam tentang jadi tahbis atau
tidak, terjawab sudah. Saya juga tidak tahu keputusanmu di saat situasi sangat
dilematis itu. Saya tidak tahu, apa yang anda katakan kepada mama saat berdiri
di samping peti jenazah mama. Tetapi dengan melihat fotomu dan membaca tulisan
itu, pertanyaanku mendapat jawabannya. Saudaraku, siap untuk ditahbis. Dia pamit kepada mama untuk bertemu Tuhan, kembali dengan tangan terurapnya, memberkati mamanya yang telah meninggal. Keputusanmu ini luar biasa mengagumkan, saudaraku. 'Biarlah orang mati menguburkan orang mati, tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di manapun engkau berada.'
Di antara deretan panjang
para imam berkasula merah yang sedang berarak menuju altar Tuhan, saya
melihatmu dalam diam. Berlangkah tenang sambil sedikit tertunduk, mengenakan jubah panjang dan stola merah sebagai seorang diakon, tanpa didampingi mama dan bapak. Padahal,
inilah momenmu. Momen indah seorang anak yang ingin menjadi imam membutuhkan
kehadiran dan dukungan mama dan bapaknya. Saudaraku, tidak mengalami momen itu. Situasi
berubah begitu cepat antara persiapan dan perayaannya. Ingin rasanya berteriak
dan bertanya, mengapa semua ini terjadi?
Menuju altar Tuhan,
saudaraku, didampingi oleh dua orang imam, Romo Agus Seran, Pr dan Romo Ema
Siki, Pr. Sementara tiga diakon lainnya didampingi oleh orang tua atau
penggantinya. Dari atas balkon, tempat saya bertugas, saya dapat menyaksikan
semua yang kau lakukan. Lantunan lagu indah memuji Tuhan, mengiringi langkahmu
yang tenang sambil tertunduk menuju tempat kurban ini. Oh saudaraku, kau begitu
lain hari ini. Banyak orang yang hadir dan telah mengetahui kisah pilumu, hanya
bisa melihatmu dalam diam bahkan ada yang meneteskan air mata.
Kini tibalah saatnya,
calon-calon imam dipanggil namanya dan mereka menjawab, Saya Hadir. Jawaban ini
menandakan kesediaan mereka untuk ditahbiskan menjadi imam sekaligus menerima
tanggung jawab sebagai seorang imam. Nama saudaraku dipanggil sebagai orang
pertama. Saya berdiri, mendengar suara yang sangat jelas menjawab. Pertanyaanku
tadi malam mendapat jawabannya. Dia telah menjawab, saya hadir. Hatiku
bergetar.
Tibalah saatnya, Uskup
Pentabismu, Mgr Dominikus Saku, Pr memberikan homily tentang tugas seorang imam,
beliau mengawalinya dengan kata-kata ini: Kita semua telah mendengar kerelaan
para diakon untuk ditahbiskan. Mulai dari pentahbisan ini, mereka dicurahi rahmat
imamat yang adalah hadiah istimewa untuk mereka berempat tetapi bukan hanya
untuk diri mereka sendiri. Imamat ditujukan demi pelayanan umat. Mereka
ditahbiskan dengan menjalani tiga tugas Kristus, sebagai nabi, imam dan raja.
Mendengar awal homily ini,
saya hanya bisa diam dan dalam hati berujar, kerelaanmu menerima rancangan
Tuhan ini sungguh mengagumkan. Kau begitu istimewa. Serasa, mama dan bapakmu sedang
berada di sampingmu. Mamamu yang sedang terbaring dalam peti jenazah seolah
menepuk punggungmu dan meneguhkan jawabanmu, saya hadir. Padahal, engkau sedang
sendirian berdiri, saat namamu dipanggil tadi, disaksikan oleh sekian banyak
orang yang hadir. Didoa ibu, namaku disebut. Doa ibumu terasa memuncak, sang
putra berdiri tegak sambil menjawab lantang, saya hadir.
Setelah menyatakan
kehadiran dan kemauannya untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai imam,
saudaraku ini maju sebagai orang pertama ke hadapan Uskup Pentahbis, sambil mengatupkan
tangannya, meletakkannya di dalam tangan Uskup, menjawab pertanyaan Uskup: Ya,
saya berjanji. Saudaraku ini berjanji taat dan hormat kepada Uskup. Oh
saudaraku, dalam diam, saya menyaksikan sikapmu itu. Kau tunduk dan hormat.
Uskup menepuk bahumu dan meneguhkanmu. Doa ibu, namamu disebut.
Saat saya menyaksikan
tanganmu diurapi oleh Uskup, hati saya bertanya, mengapa mama jalan secepat
ini, tidak menyaksikan langsung, tangan putramu diurapi menjadi imam? Prosesi
tahbisan usai, putramu dan kawan-kawan melangkah menuju altar Tuhan untuk
berdiri Bersama Uskup mempersembahkan Kurban Ekaristi, lagi-lagi hatiku
bergumam, mama bangun dan lihat putamu telah berdiri bersama Uskup. Putramu
telah mengenakan kasula merah. Bangun dan lihat putramu itu. Dia ingin agar
mama melihatnya. Bukankah ini kerinduan mama mempersembahkan putra terkasih
untuk Gereja? Oh, pertanyaan yang mengacaukan.
Setelah selesai perayaan
tahbisan imam, saya berjuang untuk menemui saudaraku, Romo Engel, untuk
berjabat tangan dan memeluknya. Ternyata saya tidak menemuinya. Di sana-sini,
keluarga para imam baru foto Bersama mengabadikan momen indah ini. Saya mencari
tetapi tidak menemuimu. Saya bertanya-tanya, di manakah Romo Engel. Ada yang
menjawabku: Romo Engel sudah kembali ke rumah.
Ternyata betul. Romo
Engel meninggalkan teman-teman dan orang lain, segera pulang dan bertemu
mamanya untuk menumpangkan tangannya sebagai imam untuk mamanya yang telah
meninggal. Karena saat berkat imam baru untuk para orang tua, saudaraku ini
tidak melakukannya. Mama dan bapaknya tidak hadir seperti orang tua ketiga imam
baru lainnya.
Saya pun bergegas ke Atambua.
Di sana, sudah banyak orang hadir. Kami bertemu dan berpelukan setelah berdoa
di samping peti jenazah mama. Sambil berpelukan, saya berbisik: Tetap kuat,
Romo.
Malam kedua,
duduk di ujung bangunan, Naesleu di ujung bulan November, 30/11/2023